Senin 11 May 2015 21:00 WIB

Usai Bersyahadat, Saidah Segera Kenakan Jilbab

Mualaf (Ilustrasi)
Foto: Courtesy Onislam.net
Mualaf (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, TANGERANG SELATAN --  Tepat 31 Oktober 2014, Saidah tiba di Jakarta. Singkat cerita, akhirnya, aku pun tiba di sebuah rumah. Rumah yang sengaja disewa oleh pesantren untuk kami, para santriwati, yang ingin belajar Islam di sana.

Maklum saja, bangunan pesantren putri sedang dilaksanakan jadi belum bisa ditempati dan membuat kami harus tinggal di rumah-rumah kontrakan. Keesokan harinya, setelah aku merasa lelah ketika berangkat dari kampung halaman ke Jakarta sudah hilang, aku pun memutuskan untuk mengucapkan dua kalimat syahadat dengan segera.

Waktu itu, bang Nababan-sapaan pimpinan Pesantren Mualaf Annaba Center--, berkata kepadaku,“Sudah siap kau untuk masuk Islam? Sudah mantap kau rasa keputusanmu ini?”, katanya. Aku pun dengan sigap menjawab; “Sudah bang! Keputusan yang aku ambil ini sudah bulat, jadi aku gak akan mengubah lagi keputusanku ini," kataku kepada beliau.

Mendengar jawaban yang aku berikan tersebut, beliau pun langsung mengatakan bahwa besok aku akan disyahadatkan di rumah salah seorang pengusaha yang beralamat di perumahan Bintaro dekat pesantren. Kebetulan pengusaha tersebut kenal dekat dengan bang Nababan, sehingga beliau menawarkan diri agar aku disyahadatkan di rumahnya saja.

Tibalah waktu pensyahadatan. Aku pun disyahadatkan ketika itu oleh ustadz Idham Cholid. Ia adalah ustadz yang mengajar di pesantren Annaba Center asuhan bang Nababan. Perlahan namun pasti, aku mengikuti ucapannya yang menuntunku untuk bersyahadat. Dengan terbata-bata dan dengan suara yang pelan, ku coba untuk tetap terarah, kalimat syahadat pun keluar dari mulutku, hingga kata itupun diucapkan. “Sah?”, kata ustadz Idham, bang Nababan dan hadirin yang hadir pun segera menjawab beramai-ramah; “Sah…. Alhamdulillah”, ucap mereka.

Sejak saat itulah namaku dirubah dari Saidah Roulie Parapat menjadk Ummi Kalsum. Nama ini adalah pemberian dari bapak Ridwan, pengusaha yang sangat peduli kepada para muallaf dan yang mengizinkan aku untuk bersyahadat di rumah beliau. Semoga Allah Swt. memudahkan segala urusannya di dunia dan di akhirat kelak. Amin yaa rabbal ‘alamin.

Setelah aku resmi menyandang nama Ummi Kalsum, pak Ridwan juga memberikan nama untuk kedua anakku. Anak yang pertama beliau beri nama Ibrahim dan yang kedua Muhammad Hasan. Sejak saat itulah aku sekeluarga menjadi pengnut Islam, akan tetapi hanya aku dan anak-anak tanpa ayah mereka. Sekembalinya dari rumah pak Ridwan, tiga hari kemudian aku merubah penampilanku yang sebelumnya tidak mengenakan jilbab, saat itu aku sudah mengenakan jilbab.

Ini adalah bentuk rasa syukur dan patuhku kepada Allah, sehingga aku langsung mengenakannya. Kegembiraan yang ada pada diriku inilah kemudian yang tanpa aku sadari, kutampilkan dalam media sosial. Fotoku yang dahulu tanpa mengenakan jilbab, aku rubah menjadi diriku yang sudah mengenakan kerudung. Sontak saja ini memancing emosi suamiku.

Usai hubungan rumah tangga kami tidak harmonis, aku tidak pernah mengabarinya tentang keadaanku dan anak-anakku. Aku pergi ke Jakarta pun tanpa sepengetahuannya, apalagi ketika memeluk Islam. Inilah yang membuatnya sangat sedih dan kecewa, ia pun lantas menghubungiku, padahal aku sudah mengganti nomor handphone-ku.

Entah dari mana ia mendapatkannya, ia berhasil menghubungi dan  mengucapkan rasa kekecewaan dan marahnya kepadaku. Ia mengangis, seolah menyesali perbuatannya dahulu, suaranya terdengar jelas di handphone-ku. Dia berpikir aku memeluk Islam karena kegaduhan kami dalam berumah tangga, akan tetapi tidak demikian. Akhirnya, dia berkata kepadaku.

“Ma..pulanglah kau, nanti aku akan berubah gak lagi main judi lagi. Pulanglah Ma… biar kita kumpul lagi sama anak-anak juga.”, katanya.

Aku paham, bahwa sebenarnya keinginannya untuk mengajakku pulang ke kampung halaman bukan semata-mata karena rumah tangga kami, tetapi karena pilihanku memeluk Islam. Dia berharap, apabila aku pulang ke kampung halaman, maka aku akan kembali ke agama lamaku. Inilah sebenarnya yang dia dan keluarganya inginkan.

Apalagi dalam tradisi Batak jika terdapat salah seorang dari anggota keluarga yang demikian, yaitu berpindah agama, maka ia akan menjadi pembicaraan dalam masyarakat kampung. Lebih lagi, ia akan dikucilkan oleh penduduk sekitar. Itulah sebabnya mengapa suamiku ingin kami pulang ke kampung ketika itu.

Sebenarnya apa yang ia maksud ada baiknya juga, agar aku tidak dikucilkan oleh penduduk. Tapi, tekadku sudahlah bulat. Aku tidak akan lagi berpaling dari Islam dan akan teguh memagang keimananku ini. Biarlah aku dikucilkan oleh penduduk kampung, asalkan aku tidak dikucilkan oleh Allah. Biarlah aku menjadi bahan pembicaraan orang-orang kampung, asal aku tidak menjadi pembicaraan para malaikat yang membicarakan keburukanku karena telah menodai Islam.

“Tak ada tawar-menawar lagi, tekadku sudah bulat dan aku tidak akan pernah merubahnya.”, ucapku dalam hati.

Bujuk-rayu suamiku tidak lantas membuatku berubah pendirian. Senang bercampur sedih, itulah yang aku rasakan ketika aku pertama kali mengucapkan kalimat syahadat. Aku merasa Allah telah memberikan jalan yang terbaik bagiku dan anak-anakku.

sumber : Pesantren Mualaf Annaba Center
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement