Oleh: Ustaz Hasan Basri Tanjung MA
Tugas utama dan terbesar seorang ayah adalah mendidik istri dan anak-anaknya untuk taat kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW.
Dulu, ketika anak-anak masih kecil, saya menyiapkan waktu khusus untuk shalat shubuh berjamaah di rumah dilanjut dengan ta’lim. Alhamdulillah, nilai-nilai akidah tauhid, ibadah dan akhlak (adab) mulai tertanam dan tumbuh perlahan, laksana sebatang pohon.
Namun, akar pohon akidah tersebut masih dangkal dan rapuh. Ia mudah goyah dan terserabut oleh badai dan gelombang, angin kencang dan hujan deras, panas terik dan cuaca dingin yang menyengat.
Pohon kepribadian itu mesti dijaga, dirawat, disirami dan dipupuki agar terlindungi dari bala bencana dan penyakit yang mematikan.
Tugas besar inilah yang menjadi tugas si ibu yang sangat penting dalam pendidikan keluarga. Ayah yang menanamkan bibit pohon dan akar iman (tauhid), lalu bersama ibu merawat batang dan dahannya (ibadah) agar berbuah sepanjang musim (akhlak karimah). Inilah Mukmin sejati seperti pohon yang baik (QS.14:24-25).
Sang Ayah yang diabadikan namanya karena upaya pendidikan keluarga yang luas biasa adalah Lukman al-Hakim. Ungkapannya yang santun dan menyentuh hati yaitu Yaa bunayya (wahai anakku) diulang tiga kali.
Petuahnya untuk bertauhid, berbakti kepada orang tua, melakukan kebaikan sekecil apapun, mendirikan shalat, sabar, amar ma’ruf nahi mungkar dan jangan meremehkan manusia diabadikan dalam Surah Lukman ayat 12-19 agar kita mengambil hikmahnya.
Begitu pun sang ayah, Nabi Ibrahim As dan Nabi Ya’kub As menyapa dengan tutur kata yang lembut Yaa baniyya,(wahai anak-anaku) untuk menanamkan akidah tauhid (QS.2:132). Nabi Yakub As juga menyapa anaknya Nabi Yusuf As dengan panggilan Yaa bunayya (QS.12:5,67,87).
Di penghujung hidupnya, ia mengevaluasi proses pendidikan tersebut dengan bertanya, maa ta’buduuna min ba’dii” (apa yang kalian sembah setelah aku mati)? Mereka menjawab dengan tegas yakni menyembah Tuhan Yang Esa, Allah SWT. (QS.2:133).
Beliau pun tersenyum hingga ajal menjemput. Bukankah banyak di antara orang tua justru bertanya, maa ta’kuluuna min ba’dii” (apa yang akan kalian makan setelah aku mati)?
Sang ayah, Nabi Nuh As juga memberi pelajaran berharga kepada para setiap ayah di kemudian hari yang sudah berjuang sungguh-sungguh mendidik anak lahir batin, namun belum membuahkan hasil yang menggembirakan, bahkan memilih jalan kesesatan.
Konon, ketika banjir bandang yang sudah menenggelamkan daratan semakin dahsyat, ia masih memanggil penuh harap dan sayang kepada anaknya, Kan’an, ''Yaa bunayya, masuklah ke dalam perahu bersama kami....”.
Namun Kan'an tetap tak mau mengikuti seruan ayahnya hingga tenggelam dihantam ombak besar dalam kekafiran (QS.11:42-44). Beliau memberi pelajaran berharga, yakni walau anak menjadi fitnah dan musuh yang menyesakkan dada, namun tak boleh berputus asa.
Bagi para ayah yang merasa belum mampu memberi tausiah, tujuh petuah berikut ini bisa jadi rujukan. Pertama, ''Wahai anakku, apakah yang membuat hidup jadi terarah? Agama. Karena agama laksana petunjuk jalan menelusuri kehidupan.''
Kedua, ''Wahai anakku, apakah yang membuat hidup jadi mudah? Ilmu. Karena ilmu laksana cahaya yang menyinari di kegelapan malam.'' Ketiga, ''Wahai anakku, apakah yang membuat hidup jadi meriah? Harta. Karena harta laksana hiburan menyenangkan dalam pertunjukan.''
Keempat, ''Wahai anakku, apakah yang membuat hidup jadi berkah? Berbagi. Karena berbagi (sedekah) itu laksana air yang mengaliri pepohonan lalu berbuah dan dimakan oleh yang membutuhkan.''
Kelima, ''Wahai anakku, apakah yang membuat hidup jadi gairah? Cinta. Karena cinta laksana sekuntum bunga dalam hati yang diliputi kerinduan.''
Keenam, ''Wahai anakku, apakah yang membuat hidup jadi indah? Seni. Karena seni laksana simponi keindahan Ilahi dalam jiwa.
Ketujuh, ''Wahai anakku, apakah yang membuat hidup jadi gagah? Beradab. Karena adab (akhlak) laksana mahkota kemuliaan tanpa memandang keturunan.'' Wallahu a’lam bish-shawab.