Oleh: Muhammad Bagus Irawan
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sahabat Ali bin Abi Thalib pernah menyampaikan sebuah teguran bagi umat Islam. “Ada orang beragama, tetapi tidak berakhlak dan ada orang yang berakhlak, tetapi tidak bertuhan.” Pernyataan ini merupakan sindiran bagi seorang yang telah berikrar iman, tetapi tabiat dan kelakuannya jauh dari moralitas sehingga ia lebih tepat dikategorikan kafir. Bukankah dari keimanan idealnya lahir tindakan-tindakan kebaikan yang sejalan dengan prinsip-prinsip moral universal? Dapatkah disebut beriman ketika tindakan-tindakannya bahkan berseberangan dari prinsip-prinsip kebaikan?
Dewasa ini, kita dihadapkan pada kenyataan pahit tentang jati diri keimanan. Negeri-negeri Islam bergejolak karena ribut ihwal iman. Apakah benar keimanan lantas menyulut amarah sehingga bisa dijadikan dogma suci untuk membungkam kelompok lain? Padahal, Rasulullah pernah bersabda, “Tidak termasuk orang yang beriman, siapa saja yang kenyang sedangkan tetangganya dalam keadaan lapar.” (HR Bukhari). Dari hadis itu, kita bisa memetik pelajaran bahwa keimanan sejatinya dilandaskan pada kepedulian sosial. Dalam konteks itu adalah anjuran menolong tetangga yang dalam keadaan susah dan miskin. Kesantunan dan kepedulian sosial adalah bentuk nyata keberimanan seseorang.
Sedangkan, dalam hadis lainnya, Rasulullah bersabda, “Tidaklah beriman seorang pezina ketika ia sedang berzina. Tidaklah beriman seorang peminum khamar ketika ia sedang meminum khamar. Tidaklah beriman seorang pencuri ketika ia sedang mencuri.” (HR Bukhari). Dari situ, kita diajak memahami bahwa fondasi iman yang lain adalah kesadaran diri. Orang-orang yang sadar telah beriman akan menjalankan perintah agama dengan kedewasaan dan kesabaran. Sehingga, tidak mungkin bisa terjebak dalam sulutan emosi hingga menyakiti lainnya. Dengan kata lain, keimanan bukan semata keyakinan yang terpendam dalam diri. Sikap acuh terhadap kesusahan orang lain atau pelanggaran terhadap syariat secara tidak tegas bisa dinyatakan sebagai 'tidak beriman', yakni kekafiran terselubung.
Rasulullah juga menyatakan dalam hadisnya, “Tidaklah beriman seseorang dari kalian hingga dia menginginkan kebaikan bagi saudaranya sebagaimana dia menginginkan kebaikan bagi dirinya sendiri.” (HR Muslim). Dengan menelaah hadis itu, lagi-lagi kita diajak menumbuhkan empati sosial sebagai motor penggerak keimanan. Kesalehan secara sosial menjadi bagian yang tidak terpisahkan demi kesempurnaan iman. Ketika Nabi ditanya ihwal siapa seorang yang paling utama di sisi Allah, beliau menjelaskan bahwa sebaik-baiknya manusia adalah yang paling banyak memberikan kemanfaatan bagi orang lain. Dalam Alquran juga banyak ditekankan implementasi keimanan dalam bentuk kesalehan, kepedulian, kesadaran, dan empati sosial. Sebagaimana termaktub dalam surah al-Hajj ayat 77, yakni “Wahai orang-orang yang beriman, rukuklah kalian, sujudlah kalian, sembahlah Tuhan kalian, dan berbuatlah kebajikan supaya kalian mendapat kemenangan.”
Ayat itu adalah satu dari ratusan ayat lainnya yang menjabarkan arti kebajikan seorang mukmin. Seorang mukmin di samping wajib menyempurnakan ibadah pribadinya kepada Tuhan, seperti shalat, puasa, haji, dan lainnya, juga wajib berperan aktif dan berkontribusi dalam terselenggaranya kehidupan sosial yang aman dan sejahtera. Tak ayal, apabila ada seorang yang mengaku beriman, tetapi mereka justru mengafir-kafirkan di luar kelompoknya, bahkan merusak harta dan membunuh kelompok lainnya secara membabi buta. Maka, sudah jelas keimanan mereka dipertanyakan atau justru mereka sendirilah yang sudah terjerembap dalam kubangan kekafiran itu sendiri. Wallahu a'lam.