REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI), menilai UU Jaminan Produk Halal (JPH) Nomor 33 tahun 2014 sulit diimplementasikan. Hal tersebut disampaikan Ketua GAPMMI, Adhi S Lukman.
Menurutnya, dalam UU JPH terdapat peraturan yang dapat menimbulkan konflik dengan undang-undang lain. Seperti Undang-undang Standarisasi dan Penilaian Kesesuaian (SPK) dan Undang-undang perlindungan konsumen.
Dalam UU SPK disebutkan yang berhak megkareditasi lembaga untuk standar yaitu Komite Akreditasi Nasional (KAN). Namun, dalam UU JPH disebutkan yang berhak melakukan akreditasi yakni Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH).
Lebih lanjut ia mengatakan, BPJPH juga menetapkan LPH. Padahal seharusnya, perusahaan sebagai pemohon berhak menentukan LPH-nya sendiri sepanjang LPH tersebut sudah di akreditasi.
Selain itu, dalam UU JPH disebutkan BPJPH yang melakukan audit dan mensertifikasi auditor. Padahal yang berhak mensertifikasi auditor yakni Lembaga sertifikasi profesi.
"Saya kira UU JPH sulit di implementasikan karena banyak konflik dengan UU yang lain dan juga ada pasal-pasal yang tidak sinkron,'' jelas Adhi S Lukma di Bogor, Senin (15/12).
Ia mencontohkan, definisi produk. Definisi produk luas tapi dalam pasal-pasalnya hanya makanan dan obat-obatan tidak menyangkut yang lain seperti barang yang dipakai.
''Harusnya itu sinkron," ujar Adhi saat ditemui dalam seminar dan FGD Tinjauan komprehensif terhadap UU no 33 tahun 2014 tentang JPH di Universitas Djuanda, Bogor (15/12).
Ia menambahkan, hal lain yang krusial dari UU JPH yakni terkait dengan halal dan haram. Dalam UU disebutkan selain produk halal dan haram dilarang di pasarkan di indonesia.