REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Cara mainstream pesantren Indonesia yang menggantungkan kelangsungan pembiayaan dari sektor agraris dinilai sebagai faktor utama lambatnya pengembangan ekonomi di sana.
Dalam perkembangannya, pemikiran tersebut kemudian membuat pesantren kebanyakan menjadi tak kuat ekonominya dan menggantungkan pembiayaan pada donatur yang tak teratur.
“Kebanyakan pesantren lahir dan besar di masyarakat agraris, situasinya, lahan agraris semakin terkikis dan aset pesantren pun ikut menipis,” kata pengasuh pesantren Al Ittihad Poncol Solotigo Jawa Tengah sekaligus Ketua PP Lembaga Pendidikan Ma'arif Nahdlatul Ulama (NU) Arifin Junaidi kepada Republika, Sabtu (15/11).
Ia mencontohkan pesantrennya sendiri. Diceritakannya, dulu ketika didirikan sang kakek, tanah yang dimiliki pesantren sangatlah luas, sekitar seratus hektar.
Lantas, ketika meninggal, lahan yang merupakan warisan tersebut dibagikan kepada anak-anaknya, kepada cucu-cucunya, dan semakin sempitlah lahan pesantren.
Padahal, lahan tersebut ditanami hasil pertanian yang penjualannya sangat diandalkan untuk membiayai pesantren.
Melihat situasi ini, para pengurus pesantren tak lantas beralih profesi menjadi pedagang atau pengusaha. Pada akhirnya, pengembangan perekonomian di pesantren pun terhambat.
Makanya, sejak sekarang ia mengimbau agar pesantren memperhatikan kemandiriannya, dimulai dari keluar dari pemikiran mainstream mereka yang selalu mengandalkan hasil pertanian.
Mengupayakan hal tersebut, dukungan pihak pengusaha dan pemerintah pun penting. Yakni dari sisi pelatihan kewirausahaan, permodalan serta pelatihan manajemen usaha.