Rabu 05 Nov 2014 07:46 WIB

Haji Perspektif Syariah, Tarekat, dan Hakikat (7)

Jamaah haji melaksanakan wukuf di Arafah, Arab Saudi.
Foto: Republika/Yogi Ardhi/ca
Jamaah haji melaksanakan wukuf di Arafah, Arab Saudi.

Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar

Memahami ibadah haji, tidak cukup hanya memahami makna fiqhiyyah seperti rukun, syarat, sunat, dan hal-hal yang bersifat teknis, seperti tertera dalam buku-buku manasik haji.

Tidak cukup juga hanya dengan memahami makna simbolik seperti sering diperkenalkan oleh para ahli ‘irfan atau tasawuf. Tetapi diperlukan suasana batin lebih mendalam lagi jika ingin meresapi dan menghayati makna hakikat haji.

Memang betul, dengan memahami hikmah di balik simbol-simbol haji akan mengantar kita kepada kesakralan ibadah haji. Namun yang lebih penting dari itu ialah memaknai secara sufistik di balik simbol-simbol haji.

Perubahan mendasar (shifting) akan terjadi di dalam diri seseorang yang mampu menembus pemahaman sufistik ini. Bahkan sesungguhnya inilah yang mampu menghadirkan haji mabrur, sebuah kualitas haji yang menjadi idaman bagi para hujjaj.

Pemahaman ke arah sufi stik haji memang harus diawali dengan memahami simbol-simbol utama haji seperti makna di balik pakaian ihram, mikat, tawaf, sa’i, Arafah, mabit di Mina, melempar jumrah, dan lain-lain.

Di samping itu, penting juga memahami drama kosmos, kisah kejatuhan anak manusia dari langit surga kenikmatan ke bumi penderitaan. Bermula ketika malaikat mempertanyakan kebijakan Tuhan tentang rencana penciptaan manusia sebagai makhluk pendatang baru dan sekaligus akan ditunjuk sebagai khalifah di jagat raya. Tuhan menjawab pertanyaan malaikat dengan tegas: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”. (QS al- Baqarah [2]: 30).

Ada riwayat panjang di dalam mengomentari ayat ini bahwa saat itu malaikat merasa bersalah dengan pertanyaan itu lalu mereka memohon ampun dengan cara mengelilingi Arasy, istana Tuhan, sambil menangis selama berhari-hari.

Selama itu Tuhan tidak pernah menyapa malaikat. Pada akhirnya Allah SWT menciptakan miniatur Arasy bernama al-Dhurah di Baitul Ma’mur. Kemudian para malaikat diminta meninggalkan Arasy dan selanjutnya bertawaf di tempat baru itu sampai sekarang.

Di dalam Baitul Ma’mur para malaikat terus melanjutkan tawafnya memutari miniatur Arasy di sana. Tawaf merupakan bentuk ibadah tertua yang juga dilakukan oleh seluruh makhluk makrokosmos, seperti planet dalam galaksi bimasakti.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement