REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Klaim hasil penelitian yang menunjukkan minat baca masyarakat Indonesia rendah, harus dikaji ulang.
Pasalnya, adanya minat baca dari masyarakat yang cukup tinggi kerap dipatahkan oleh ketidaktersediaan dan ketidakterjangkauan bahan bacaan di daerah.
“Memang kita belum pernah melakukan penelitian intensif, tapi bagi pelajar Madrasah dan Pesantren, minat baca mereka cenderung tinggi,” Kata Direktur Jenderal Pendidikan Islam (Ditjen Pendis) Kementerian Agama Kamaruddin Amin kepada Republika pada Senin (3/11).
Hal tersebut ditunjukkan dari banyaknya rangsangan yang diberikan oleh para pengajar madrasah dibarengi kurikulum baru yang membuat anak meningkatkan rasa ingin tahu dan sikap kritisnya.
Begitu pun di pesantren. pembelajaran yang berlangsung selama 24 jam diiringi pengawasan membuat mereka terpacu untuk selalu membaca buku, kitab suci dan referensi Islam lainnya. “Bahkan mereka juga menghapal,” lanjutnya.
Berdasarkan data Bank Dunia Nomor 16369-IND dan studi International Association for the Evaluation of Education Achicievement (IEA), untuk kawasan Asia Timur, minat baca bangsa Indonesia memegang posisi terendah dengan skor 51,7 di bawah Filipina (skor 52,6), Thailand (skor 65,1), Singapura (skor 74,0) dan Hongkong (skor 75,5). Kondisi tersebut dinilai sangat memprihatinkan.
Merespons data tersebut, Kamaruddin menjadikannya sebagai bahan catatan agar pemerintah dapat menjadi penyedia sarana baca bagi para pelajar dan santri di daerah.
Caranya, yakni dengan membuka akses buku digital via website resmi Pendis yang diharapkan dapat dijangkau oleh seluruh pelajar sampai ke daerah.
“Jaringan internet akan lebih memudahkan kita dalam menjangkau informasi dan bahan bacaan yang bagus,” kata dia.
Namun tentu saja, butuh pengawasan yang bijak dari orangtua dan para guru, agar anak-anak dapat memilah mana yang mesti diserap dari internet dan mana yang sampah.
Penyediaan sarana prasarana membaca untuk mendukung minat baca masarakat, kata dia, juga perlu didukung oleh penyediaan perpustakaan yang memadai di setiap sekolah dan pesantren.
Yang tak kalah penting, sambung Kamaruddin Amin adalah penyediaan tenaga pustakawan yang mumpuni agar pengelolaan perpustakaan dapat berjalan lancar.
Diakuinya, di madrasah banyak sekali para penjaga perpustakaan yang belum mengetahui manajemen perpustakaan yang baik. Makanya, Kemenag membuka fasilitas pelatihan pustakawan sejak dua tahun yang lalu.