Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar
Setelah Adam dan Hawa membuat pelanggaran di surga maka Allah SWT pun memindahkan Adam dan Hawa ke bumi dan di sana dibangunkan miniatur al-Dhurah bernama Ka’bah.
Di sinilah Adam bersama anak cucunya melanjutkan tradisi thawaf itu mengelilingi Ka’bah sebagai miniatur Arasy. Ibarat tusuk sate, dalam sebuah riwayat Israiliyat dijelaskan, Ka’bah dibangun persis dalam garis lurus di bawah al-Dhurah dan ‘Arasy.
Dengan demikian, Ka’bah merupakan pusat gravitasi spiritual, karena semenjak azali sudah menjadi pusat thawaf oleh para malaikat dan jin. Sebagai pusat gravitasi spiritual sudah barang tentu energi daya sedotnya sangat kuat.
Itu bisa terasa bagi siapa pun yang berada di dalam radius terdekat di Ka’bah, akan merasakan vibrasi amat kuat. Meskipun tempatnya berdesak-desakan dengan manusia dari berbagai etnis, tetapi tidak pernah mengurangi kekhusyukan di dalam beribadah kepada Allah SWT. Terkadang tidak peduli orang lain, isak tangis dan deraian air mata keterharuan terhadap yang punya rumah, Allah SWT terus mengalir.
Di halaman Ka’bah seolah merupakan kampung halaman spiritual para peziarahnya. Shalat di samping Ka’bah 100 ribu lebih utama pahalanya di sisi Allah SWT dibanding di tempat lain di luar kota Makkah dan Madinah.
Di hadapan Ka’bah seperti satu keluarga besar. Semuanya merasa kembali ke kampung halaman rohani masing-masing. Di sana tidak ada lagi kotak etnis, gender, umur, kewarganegaraan, pimpinan-bawahan, jenderal-prajurit, tuan, nyonya, majikan, Arab-non Arab, Timur- Barat, hitam-putih, pendosa-ahli ibadah, dan lain-lain.
Di halaman Ka’bah tidak ada lagi atribut sosial, politik, kelas, intelektual, dan jenis kelamin. Bahkan, tidak ada lagi atribut spiritual-psikologis. Semuanya merasa sama sebagai Keluarga Allah, umat Nabi Muhammad, dan tidak ada lagi atribut orang lain. Persis sama yang dikatakan Nabi, Bagaikan satu anggota badan, jika satu bagian sakit maka yang lain ikut sakit.
Di pelataran Ka’bah seperti kita berada di dunia lain. Lain sama sekali dengan kampung halaman biologis kita, bahkan lain dibanding keluarga dan rumah tangga sendiri. Di dalam rumah kita masing-masing masih gampang tersinggung, marah, bahkan meledak.
Tetapi, di kampung halaman rohani ini terkadang kita disenggol bahkan kepala diinjak kala sujud tetapi nafsu marah tidak ada lagi.