REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Tidak ada niatan lain Muslimah Prancis mengenakan hijab dan burka selain sebagai implementasi iman mereka sebagai Muslim. Nyatanya, niatan itu justru dianggap lain sehingga perlu dilarang.
Satu dekade larangan hijab berlaku di Prancis. Tak terhitung berapa kali, Muslimah Prancis menjadi korban serangan Islamofobia di negeri yang sebenarnya menghargai kebebasan beragama. Tak terhitung pula, Muslimah Prancis berkampanye guna meluruskan kesalahpahaman tentang hijab.
Usaha itu rupanya belum cukup. Layaknya manusia biasa, Muslimah Prancis tentu merasa lelah dengan perlakuan tidak adil itu. Sebagian dari mereka ada yang tetap bertahan dan terus berjuang. Sebagian yang lain, memilih meninggalkan Prancis guna memperoleh jaminan atas keyakinannya.
"Saya berkata kepada diri sendiri, masa depan saya mungkin tidak di sini" kata Sarah B, dalam sesi wawancara seperti dilansir onislam.net, Rabu (22/10).
"Jika saya tidak diterima di sini, saya akan pergi. Saya tidak ingin selamanya berjuang untuk diterima. saya ingin hidup damai dan bebas seperti perempuan lainnya," kata dia.
Sarah yang lima tahun menetap di Prancis mulai berpikir serius untuk menuju tempat lain. "Mungkin Kanada atau Inggris. Atau mungkin saya kembali ke tanah air orang tua di Maroko."
Sarah merasakan penderitaan menjadi korban Islamofobia sejak memutuskan berhijab. Itu sebabnya, ia melepas hijabnya ketika kuliah. Tapi itu putusan yang berat.
"Saya suka Prancis. Negara ini menawarkan banyak hal tapi saya juga berhak atas kebebasan saya. Saya berhak menjadi diri sendiri. Sakit rasanya," kata dia.
Selain memilih meninggalkan Prancis, sebagian Muslimah Prancis berinisiatif untuk mengambil pekerjaan di dunia maya. Pekerjaan ini membuat mereka terhindar dari masyarakat. Namun, tetap saja opsi meninggalkan Prancis merupakan pilihan realistis bagi mereka.
Laila Glovert, 33 tahun, misalnya meninggalkan Prancis empat tahun lalu menuju London. Ia memutuskan pindah karena mengalami insiden kekerasan ketika berada di jalanan Paris.
Kini, ia bekerja sebagai konsultan kesehatan di sebuah klinik perokok. "Saya tidak akan pernah kembali ke Prancis," kata dia yang seorang mualaf.
"Satu-satunya hal yang membuat kembali adalah mengunjungi anak-anak. Itupun saat liburan."
Peneliti, Ismahane Chouder mengaku sejak aturan itu diberlakukan tidak ada pihak yang peduli soal hak Muslimah Prancis. "Sampai sekarang baik Departemen pendidikan, pemerintah maupun kelompok HAM tidak ada yang peduli," kata dia yang berencana akan mempublikasikan temuannya pada Maret 2015.