Senin 01 Sep 2014 19:01 WIB
Bahari Anshori Kholil—Dai Sulawesi Tengah (2)

Rindu Berdakwah

Ustadz Bahari dan santrinya
Foto: dok BMH
Ustadz Bahari dan santrinya

REPUBLIKA.CO.ID, Bahari adalah pendatang baru di desa Pinom Balajaya, Kecamatan Ongka Malino, Kabupaten Parigi Motong, Sulawesi Tengah. Daerah ini terletak di pelosok. Jarak dari kota kabupaten sekitar 250 kilo meter. Sedangkan dari laut, jaraknya sekitar 20 menit. Tak begitu jauh. Suhu di sini relatif lebih panas. Desa ini tak jauh dari hutan dan dikelilingi persawahan. Penduduk desa mayoritas transimigrasi dari Tanah Jawa.

Bahari datang ke tempat ini untuk membuka pesantren Hidayatullah. Sebelumnya, Bahari tinggal di Depok beserta keluarga. Sebelumnya Bahari pernah bertugas di pesantren Hidayatullah Aceh, dan Medan, Sumatera Utara. Di Kota Depok Bahari termasuk hidup makmur. Punya usaha konveksi dan mengajar bela diri Tifan Pohan. Muridnya pun sudah banyak.

Namun, kemapanan ternyata tidak membuatnya tenang dan bahagia. Hatinya selalu gelisah. Dia ingin merasakan suasana berislam yang lebih kental. Karena itu, lelaki yang pernah jadi santri di Pesantren Hidayatullah Gunung Tembak, Balikpapan Kalimantan Timur ini memutuskan untuk merintis pesantren. Pilihannya jatuh di Sulawesi Tengah. Tempat yang jauh. Ketika mengambil pilihan itu, tak sedikit teman-temannya yang mengingatkan: “Kenapa memilih hijrah. Bukannya sudah makmur di Depok. Lagi pula apa yang dicari jauh-jauh ke Ongka Malino.” Bahari tak ciut. Meski nasihat itu dating bertubi-tubi, tapi pilihannya sudah bulat. Dia pun yakin rezekli telah dijamin Allah.

“Kalau rezeki sudah ditentukan Allah. Mau di manapun tinggal, sedikit atau banyak, sudah diatur oleh-Nya,” ujar Bahari mantap.

Karena belum ada tempat, Bahari berangkat seorang diri ke Ongka Malino. Istri dan anak-anaknya ditinggal di Depok. Baru setelah sekitar setahun, setalah ada tempat, keluarganya dijemput. Sebelum itu, Bahari hanya pulang pergi—Parigi Motong-Depok. Keluarganya tak protes karena telah sepakat dan paham atas pilihan Bahari.

Dituduh teroris

Bahari dapat wakaf tanah setengah hektar. Di atas lahan itu belum ada apa-apa, termasuk rumah. Bahari pun tidur di mushola bersama santrinya. Pendekatan dakwah dia lakukan pada masyarakat. Bahari membuka pengajian, mengajari anak-anak mengaji dan mendirikan Taman Pendidikan Al Quran. Meski Muslim, namun tak sedikit yang tak shalat dan belum bias mengaji. Karena itu, kedatangan Bahari disambut baik masyarakat. Masyarakat berduyun-duyun membantunya membangun pesantren. Membangun rumah dan asrama. Ada yang menyumbang kayu pohon kelapa, dan atap rumbia.

Karena sudaha ada tempat, Bahari pun mengambil keluarganya. Istri Bahari memakai cadar. Hal itulah yang mengundang curiga masyarakat sekitar. Kecurigaan itu dihembuskan oleh salah satu tokoh masyarakat yang juga kepala sekolah Madrasah Tsanawiyah (MTs). Dia bilang Bahari teroris karena istrinya bercadar. Tidak hanya itu, Bahari juga berjenggot panjang dan lebat. Celananya juga agak mengantung. Pas sudah. Apalagi ditambah  Bahari mengajar bela diri Tifan Pohan. Jika malam hari, dia bersama murid-muridnya lari keliling desa.

Isu itu diketahui Bahari dari temannya yang dekat dengan sang kepala sekolah. Tahu begitu, Bahari lalu mendekati tokoh tersebut. Dia pun menjelaskan tujuan dan kenapa ia dan istrinya menggunakan simbol islami seperti itu. Lambat laun tokoh tersebut paham dan menerimannya. Dia kini jadi pendukung pesantren. Bahkan, istri sang tokoh belajar menjahit pada istrinya.

“Itulah perjuangan. Tidak selalu mulus. Tapi, jika dijalani selalu ada hal yang menakjubkan,” tuturnya.

Kemampuan Bahari dalam bela diri Tifan Pohan dimanfaatkannya untuk berdakwah. Ilmu itu cukup topcer untuk menggaet remaja ke pesantren sekaligus mendakwahinya. Bahari punya sekitar 30 murid. Ada yang remaja dan tua. Sebelum belajar beladiri mereka diajak berdoa, mengaji, hafalan hadits dan shalat. Setiap dalam banyak kesempatan Bahari memberikan ceramah.

Alhamdulillah, responsnya bagus,” terangnya.

Beladiri itu juga jadi alternatif bagi masyarakat. Pasalnya, beladiri yang ada di desa Pinom Balajaya mengandung muatan syirik. Murid acapkali harus melakukan ritual potong ayam dengan bacaan doa-doa khusus dan sebagainya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement