REPUBLIKA.CO.ID, Pola penyebaran Islam di Tatar Sunda lebih progresif dibandingkan dengan Islamisasi tanah Jawa secara umum.
Menurut Ketua Program Studi Pascasarjana Universitas Indonesia Dr Hanief Saha Ghafur, hal itu antara lain karena pengaruh Hindu-Buddha tidak begitu kuat di kawasan ini.
“Penerimaan masyarakat Sunda terhadap Islam lebih berakar dan leading,” katanya kepada wartawan Republika Nashih Nashrullah. Berikut lanjutan perbincangan dengan Hanief:
Apakah kondisi di atas berdampak pada karakter Islam di Jawa Barat?
Jelas berpengaruh. Islam itu masuk dari kawasan utara Jawa, termasuk Jawa Barat, lalu melakukan penetrasi ke daerah selatan, Cirebon, sampai ke Batavia. Penetrasinya secara damai ke selatan.
Islam di kawasan utara adalah Islam kota. Islam kosmopolitan, Islam kaum pedagang, masyarakat yang mobilitasnya tinggi, karakteristik entrepreneur, yang kemudian bergerak dari satu pulau, kota ke kota, wilayah ke wilayah, jadi orangnya egaliter; Islam orang kota, Islam pasar, Islam pedagang.
Pemandangan itu perlahan berubah saat kolonial datang. Maka orang-orang di kawasan ini diusir oleh Belanda karena kota pelabuhan ini dikuasai mereka. Mereka di dorong masuk ke selatan, mereka bergeser dari kaum pedagang, kemudian menjadi mata pencariannya sebagai petani, tidak pedagang lagi. Kultur petani itu kan beda. Kaum petani cenderung statis, tunggu musim, cukup menanam, ini berpengaruh pada kultur Islam. Islam di Jawa Islam desa, bukan Islam pedagang.
Sejauh mana kontribusi kerajaan Islam dalam Islamisasi Tatar Sunda?
Kerajaan Islam di Jabar berkontribusi besar dalam Islamisasi Tatar Sunda. Ini terbukti misalnya dari hubungan pernikahan antara keluarga kesultanan dengan para ulama. Misalnya di Banten ada Sultan Hasanuddin, di Cirebon ada Sunan Gunung Jati, di Batavia ada Fatahillah, dan Banten ada Kiai Nawawi.