Kamis 14 Aug 2014 14:23 WIB

Islam, Manuskrip, dan Tatar Sunda (2-habis)

Sejumlah warga masyarakat Adat dari pelbagai kampung Adat di Jawa Barat mengikuti acara Festival Budaya Masyarakat Adat Tatar Sunda (FBMATS) di Kabupaten Bandung.
Foto: ANTARA/Agus Bebeng/ca
Sejumlah warga masyarakat Adat dari pelbagai kampung Adat di Jawa Barat mengikuti acara Festival Budaya Masyarakat Adat Tatar Sunda (FBMATS) di Kabupaten Bandung.

Oleh: Nashih Nashrullah      

Pola penyebaran Islam di Tanah Sunda selaras dengan Islamisasi yang berlaku di Jawa secara keseluruhan. Pendekatan yang digunakan ialah cara-cara damai dan persuasif.

Kebudayaan dan keyakinan pra-Islam, seperti Sunda Wiwitan, dikikis secara perlahan. Dan, tanpa ada faktor pemaksaan.

Dadan Wildan dalam “Perjumpaan Islam dengan Tradisi Sunda” membuktikan, Islamisasi yang gencar di Tanah Pasundan ketika itu, tidak memaksakan komunitas Baduy Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak. Mereka tetap bertahan dengan ajaran warisan leluhurnya, yakni Sunda Wiwitan.

Meski demikian, ia juga sepakat bahwa pendekatan akulturasi budaya sangat kental dalam proses awal dakwah Islam di Jawa Barat. Ini, antara lain, misalnya, tampak dari penamaan bulan. Nama-nama bulan itu dalam tradisi Sunda sebagian mengadaptasi sistem penamaan dalam kalender Hijriyah.

Sura untuk Muharram, Sapar atau Shafar, Mulud (Rabiul Awwal), Silih/Sawal Mulud (Rabiul Akhir), Jumadil Awal (Jumadil Awwal), Jumadil Akhir (Jumadil Akhir), Rejeb (Rajab), Ruwah (Sya'ban), Puasa (Ramadan), Sawal (Syawal), Kapit/Hapit (Zulkaidah), dan Rayagung/Raya Agung (Zulhijah).

Masih menurut Dadan, mengutip Bekki (1975) dalam “Socio Cultural Changes in a Traditional Javanese Village”, sikap dan karakter keterbukaan yang ditunjukkan oleh masyarakat Jawa pada umumnya, pada dasarnya dilatarbelakangi oleh watak dasar mereka yang lentur terhadap agama luar. Meski animisme telah mengakar kuat sepanjang peradaban nusantara, hal itu tidak membuat mereka antipati terhadap keyakinan baru.

Dan, kecenderungan yang berlaku, keyakinan anyar yang datang belakangan itu, dibuat sedemikian rupa, agar khas dan sesuai dengan “selera” lokal. Islamisasi dengan pola “adaptasi” ini, juga terlihat jelas dari penggunaan media seni sebagai alat efektif menyampaikan dakwah, terlebih pada zaman itu, keberadaan dai tak seramai sekarang. Musik atau ritual keagamaan menjadi jurus jitu untuk mendekatkan mereka denga Islam. Dan, faktanya pola ini berhasil.

Islamisasi Tanah Pasundan, yang terungkap dari berbagai bukti sejarah, terutama manuskrip, membuka mata kita semua akan universalitas Islam. Risalah samawi ini dapat masuk dan menjadi bagian tak terlepaskan dari kehidupan masyarakat setempat.

Berdasarkan manuskrip itu pula, wawasan kita akan terbuka, bahwa Islam nusantara kaya akan sejarah, tradisi, dan warisan intelektual yang berharga.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement