Kamis 14 Aug 2014 12:46 WIB

Dari Istigfar ke Tobat (2-habis)

Tobat lebih dari sekadar mengucapkan lafaz istighfar, tetapi menuntut persyaratan lebih banyak.
Foto: Republika/Raisan Al Farisi/ca
Tobat lebih dari sekadar mengucapkan lafaz istighfar, tetapi menuntut persyaratan lebih banyak.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Prof Nasaruddin Umar

Dalam firman-Nya disebutkan, “Jika Allah mencintai seorang hamba maka dosa itu tidak akan memberi mudarat pada dirinya.” Lalu, beliau membaca ayat tersebut (QS al-Baqarah [2]:222).

Maksudnya, Allah memberi taufik kepadanya untuk bertobat dan Allah menerima tobatnya maka dosa yang pernah dilakukan sebelum tobat itu, tidak ada lagi melekat pada dirinya.

Nabi SAW juga selalu memotivasi untuk segera bertobat, sebagaimana dalam sabdanya, “Orang yang bertobat seperti orang yang tak berdosa.” Dalam hadis lain dikatakan, “Tak ada sesuatu pun yang lebih dicintai Allah, daripada seorang pemuda yang bertobat.

Rasulullah SAW pernah ditanya istrinya, Aisyah RA, “Mengapa engkau menghabiskan waktu malammu untuk beribadah, bukankah engkau seorang Nabi yang dijamin masuk surga oleh Allah SWT?” Rasulullah menjawab singkat, “Apakah aku tidak termasuk hamba yang bersyukur?”

Dari sini bisa dipahami porsi makna tobat tidak hanya sekadar pembersihan diri dari dosa dan maksiat, tetapi lebih banyak bermakna mendekatkan diri sedekat-dekatnya kepada Allah SWT (taqarrub ilallah).

Inabah yang merupakan sifat dasar al-tawwabin, sesungguhnya menjadi ciri khas para wali dan para orang dekat Tuhan (muqarrabin).

Hal ini didasarkan pada firman Allah dalam Alquran, “Wa ja’a bi qalbin salim (Dan dia datang dengan hati yang bertobat).” (QS Qaf [50]: 33).

Selain inabah, juga dikenal istilah lain, yaitu aubah merupakan sifat para Nabi dan Rasul, sebagaimana firman-Nya, “Ni’mal ‘abd innahu awwab” (Dialah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya ia amat taat (kepada Tuhannya).” (QS Shad [35]: 44).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement