Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar
Salah satu hikmah puasa bagi ahli tarekat ialah untuk menyempitkan peredaran setan di dalam diri manusia.
Rasulullah pernah mengatakan, Innas syaithan yajri fi ibni Adam majrad dam. Fadhayyiqu majarihi bil ju’i (Sesungguhnya setan mengalir di dalam diri anak cucu Adam mengikuti aliran darah, persempitlah aliran setan itu dengan kelaparan).
Dalam hubungan inilah Rasulullah bersabda, “Idza dakhala Ramadhan futihat abwabal jannah, wa gallaqat abwaban nar, wa shuffidatis syayathin, wa nada munadin ya bagiyal khair halumma, way a bagiyas syar iaqshar (Jika masuk bulan Ramadhan, maka terbukalah pintu-pintu surga, tertutuplah pintu-pintu neraka, setan-setan dibelenggu, lalu terdengarlah panggilan: Wahai pencari kebaikan kemarilah dan wahai pencari keburukan menyingkirlah).”
Puasa di kalangan ahli tarekat kelihatan tidak terlalu menekankan pahala, tetapi begaimana dia bisa menjadi lebih bersih selanjutnya bisa dekat dan lebih dekat lagi dengan Tuhannya, sebagaimana dilukiskan di dalam Alquran: ”Wa huwa bil ufuqil a’la, tsumma dana fa tadalla, fakana qaba qausaini au adna. (Sedang dia berada di ufuk lebih yang tinggi. Kemudian dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi. Maka, jadilah dia dekat (sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi).” (QS an-Najm [53]:7-9).
Pengamal puasa khawashul khawash, tidak lagi berharap pahala atau berkah, karena satu-satunya harapan mereka hanya Allah semata.
Dua perspektif terdahulu (Sya ri’ah dan Tarekat) masih menekankan ritual puasa sebagai kewajiban yang mesti ditaati dan ini sangat benar, sesuai dengan ketetapan Allah SWT, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”(QS al- Baqarah [2]: 183).