Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar
Perlu ditegaskan di sini bahwa tidak ada pertentangan antara puasa dalam perspektif syari’ah, tarikat, dan hakikat.
Puasa dalam perspektif tarikat dan hakikat sesungguhnya merupakan kelanjutan target dari puasa yang biasa dilakukan oleh orang-orang awam.
Imam al-Gazali juga membagi puasa itu ke dalam tiga bagian, yaitu puasa awwam, puasa khawash, dan puasa khawasul khawash. Mungkin bisa dianalogkan bahwa yang dimaksud puasa awam ialah puasa dalam perspektif syari’ah atau mungkin lebih tepat disebut menurut ulama fikih.
Puasa orang khawash ialah puasa dalam perspektif tarikat, dan puasanya orang khawashul khawash yaitu puasanya ahli hakikat, sebagaimana akan dijelaskan di dalam artikel mendatang.
Standar puasa sesungguhnya ialah sebagaimana telah dijelaskan di dalam ulama-ulama fikih, khususnya dalam kitab-kitab Fiqh al-Shiyam atau Kitab al-Shiyam di dalam kitab-kitab Fikih Mu’tabarah.
Tidak mungkin ada puasa khawash atau khawashul khawash tanpa ada puasa standar sebagaimana ditetapkan di dalam Alquran dan hadis, seperti yang bisa dibaca di dalam kitab-kitab fikih tentang puasa.
Apa yang membatalkan puasa bagi ulama fikih itu juga mutlak membatalkan puasa menurut ulama tarikat dan ulama hakikat. Hanya yang berbeda ialah penekanan sunah dan makruh puasa. Yang sunah di dalam perspektif syari’ah dirasakan sebagai wajib dalam perspektif tarikat dan hakikat.
Yang makruh atau mengurangi kadar pahala puasa, di dalam perspektif syari’ah sudah dirasakan sebagai merusak (fasakh) puasa, sehingga yang makruh dirasakan sebagai hal yang membatalkan puasa.