Senin 16 Jun 2014 20:48 WIB

RUU Pengelolaan Dana Haji Dinilai Mubazir

Rep: c78/ Red: Asep K Nur Zaman
Setoran dana haji (ilustrasi).
Foto: Republika/Wihdan
Setoran dana haji (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA — Pasca kisruh Kementerian Agama (Kemenag) yang diduga melakukan penyelewengan dalam penyelenggaraan haji, wacana pemisahan dana haji dan pengelolaannya pun digagas. Pemerintah mengajukan draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengelolaan Dana Haji yang akan ditempatkan di bawah badan khusus di luar Kemenag.

Namun, sejumlah pihak menilau RUU tersebut mubazir, bahkan tidak akan banyak berpengaruh terhadap perbaikan penyelenggaraan ibadah haji. “Itu namanya sami mawon alias jeruk makan jeruk,” kata Ketua Umum Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI), Kurdi Mustofa, kepada Republika, Senin (16/6).

RUU Pengelolaan Dana Haji, lanjut dia, hanya akan membuat Kemenag lepas tanggung jawab. Kurdi juga meminta pemerintah dan DPR memprioritaskan perbaikan di sisi hulunya, yakni menyeriusi perampungan amandemen UU Nomor 13 tahun 2008 tentang Penyelengaraan Haji.

Lepas tanggung jawab, maksud Kurdi, disebabkan badan khusus yang nantinya dibentuk hanya bertugas mengelola keuangan haji tapi untuk wewenang dan keputusan penggunaannya tetap di bawah persetujuan Menteri Agama. 

“Nantinya akan sama saja, badan hanya suruh kerja, suruh cari duit, tapi yang menggunakan Kemenag, karena mereka yang menyelenggarakan haji,” lanjutnya. Kesimpulan tersebut dia dapatkan setelah membaca draf RUU Pengelolaan Dana Haji. 

Makanya, menurut Kurdi, target Menag Lukman Hakum Saefuddin yang bermaksud meampungkan RUU dalam tiga bulan adalah sesuatu hal yang tidak perlu. Sebab RUU tidak akan lagi penting jika amandemen UU Nomor 13 tahun 2008 sudah rampung. “Sebagaimana saran KPK, Kemenag cukup jadi regulator saja,” terangnya. 

Dia pun sepakat dengan pandangan calon presiden Prabowo Subianto tentang gagasan tabungan haji. Yaitu perlu dibentuk badan khusus yang tidak hanya mengurusi pengelolaan dana haji, tapi juga bertugas mengelola penyelenggaraan ibadah haji.

Hal senada diungkapkan Ketua Umum Majelis Pimpinan pusat Rabithah Haji Indonesia Ade Marfuddin. Menurutnya, RUU Pengelolaan dana haji menjadi tidak penting karena pembahasannya sudah ada dalam amandemen UU Nomor 13 tahun 2008. 

“Dalam amandemen, sudah pasti nantinya ada muatan-muatan salah satunya bagaimana pengelolaan dana haji yang baik. Jadi tidak perlu merumuskan UU pengelolaan dana haji secara terpisah,” kata dia.

Dalam amandemen, menurut Ade, akan ada juga pembahasan soal investasi dana haji yang harus mendukung kepentingan jamaah haji sebesar-besarnya. Jika pun ada pembahasan soal RUU, teknisnya tidak boleh dilakukan secara terburu-buru dengan menargetkan waktu tiga bulan.

Ade menilai, anggota dewan yang sekarang pun sudah tidak representatif lagi untuk dilibatkan dalam penggodokan RUU. Pembahasan RUU harusnya dilakukan pemerintah bersama anggota dewan di periode pemerintahan yang baru. 

“Kalau dipaksakan dan hanya kejar target, maka akan lahir UU prematur, jangan dipaksakan digodok oleh anggota dewan yang sekarang,” kata Ade.

Ketergesa-gesaan penggodokan RUU juga membuka peluang adanya kebijakan yang menempatkan pemerintah lagi-lagi memonopoli pengelolaan dana haji. Lagi pula, pengelolaan dana haji terkait dengan penyelenggaraannya.

Maka dari itu, keduanya tidak bisia dipisahkan bahkan harus ada dalam satu paket. “Ruhnya penyelenggaraan itu ada di dana,” imbuh Ade. 

Jika maksud utamanya untuk memperbaiki penyelenggaraan ibadah haji, pemerintah dan DPR seharusnya membuat badan khusus yang independen untuk mengelola penyelenggaraan haji. Badan tersebut nantinya juga bertugas mengelola pengelolaan keuangan dana haji. Tujuannya, kata Ade, agar dana haji tidak menjadi ladang ATM atau mesin uang partai politik, anggota dewan atau pemerintah.

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement