Kamis 12 Jun 2014 10:01 WIB

Thaharah Dalam Perspektif Fikih (1)

Sebelum mendidirikan shalat, seorang Muslim harus berwudhu untuk menyucikan diri.
Foto: Reuters/Fayaz Kabli
Sebelum mendidirikan shalat, seorang Muslim harus berwudhu untuk menyucikan diri.

Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar

Secara fiqhiyyah, thaharah selalu berhubungan dengan wudhu, tayamum, dan mandi. Seorang yang berhadas besar diwajibkan mandi junub dengan segala ketentuannya yang secara teknis telah diuraikan di dalam banyak buku-buku fikih (Fiqh al-Thaharah).

Demikian pula masalah wudhu dan tayamum, termasuk istinja, sudah dijelaskan secara panjang lebar di dalam buku-buku paket anak-anak SD.

Yang penting diketahui dalam perspektif ini, meskipun orang sudah mandi dengan menggunakan sabun atau shampo, jika tidak secara formal mengambil air wudhu kemudian shalat, maka shalatnya batal atau tidak sah. Karena, salah satu syarat sah shalat ialah mengambil wudhu dan bersih dari hadas kecil atau besar.

Seseorang yang dalam keadaan hadas besar tidak cukup hanya dengan berwudhu, tapi harus mandi junub, yaitu mandi dengan nait mandi junub dengan cara mencuci seluruh anggota badan tanpa terkecuali.

Dalam dimensi dasar perspektif tarekat dan hakikat sebetulnya juga sama. Yang berbeda ialah pemaknaan, konsep, dan niat. Misalnya, bagaimana ulama fikih, tarekat, dan hakikat memaknai air, tanah, anggota badan yang harus dibersihkan.

Sedangkan, dimensi neurologis dan psikologis dihubungkan dengan efek positif pada diri manusia jika masing-masing konsep itu diterapkan. Dari sini, kita bisa memahami, Subhanallah, ternyata setiap perintah dan larangan Allah SWT bukan untuk kepentingan diri-Nya, tetapi untuk kepentingan manusia itu sendiri.

Dalam pandangan fikih, objek yang harus dibasuh ialah lebih kepada fisik. Tidak heran jika fikih wudhu sangat teliti mengenai anggota badan yang harus dicuci (al-gusl) dan yang harus diusap (al-mash) dengan air wudhu. Pada anggota badan yang harus dicuci, seperti wajah dan tangan, tidak boleh ada pori-pori yang tidak tersentuh air.

Pengecualian jika ada perban luka yang membungkus daerah tersebut. Kuteks atau cat kuku yang unsurnya, seperti cat, bisa menghalangi air menyentuh pori-pori sehingga tidak boleh digunakan. Ini terkenal di dalam mazhab Syafi’i.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement