Ahad 08 Jun 2014 06:02 WIB

Belajar dari Suasana Batin: Dari Hal Menuju Maqam (2-habis)

Tidak mesti menjadi seorang Arab untuk menjadi Muslim terbaik.
Foto: Republika/Tahta Aidilla
Tidak mesti menjadi seorang Arab untuk menjadi Muslim terbaik.

Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar

Orang yang sudah mengenal maqam tertentu perlu mencermati kondisi batinnya. Ada dua kondisi yang sering dialami orang, yaitu hal dan maqam.

Hal ialah kondisi sesaat yang dialami orang yang sedang mengalami spiritual mood, ketika seseorang sedang hanyut dengan suasana batin tertentu yang biasanya karena dipicu kejadian-kejadian tertentu pada dirinya.

Misalnya, ia baru saja ditimpa musibah, sedang kecewa berat, sedang mempunyai hajat dan kebutuhan berat, atau baru saja mengikuti majelis zikir yang memesonakan dirinya.

Suasana batin orang ini memang merasakan perasaan lapang dada, tawaduk, syukur, tawakal, ridha, mahabbah, bahkan merasa begitu dekat dengan Tuhan. Tindakan-tindakan sosialnya juga tiba-tiba berubah dan seolah menjadi orang yang bukan dirinya sendiri. Tapi, orang ini masih fluktuatif, bergantung mood-nya.

Sedangkan maqam adalah kondisi batin permanen dialami seseorang karena sudah melalui proses pencarian panjang serta riyadhah dan mujahadah yang konsisten. Suasana batin yang dialaminya bukan karena dipicu peristiwa-peristiwa khusus, melainkan sudah melalui spiritual training yang amat panjang. Tapi, tidak mustahil hal bisa menjadi permanen manakala orang itu memahami kiat-kiat khusus.

Peranan syekh, mursyid, atau pembimbing spiritual diperlukan dalam meningkatkan hal menjadi maqam. Di sinilah tarekat berperan untuk mengorganisasi jamaah agar melakukan mujahadah dan riyadhah secara sistematis.

Sistem setiap tarekat bervariasi, bergantung sang pendiri tarekatnya. Syekh, mursyid, dan tarekat memang besar manfaatnya bagi orang yang akan dengan serius menekuni dunia suluk.

Salik  modern tidak mesti harus melakukan perubahan drastis dari berbagai aspek kehidupan. Seorang salik tidak tepat mendramatisasi diri sebagai orang yang sangat spesifik, apalagi mengklaim diri sebagai kelompok ”manusia suci”.

Sufi atau salik yang sejati ialah mereka yang mampu menyembuyikan diri dan kondisi batin yang dialaminya di depan orang lain. Jika ada salik yang suka memamerkan ke-salik-anya maka sesungguhnya belumlah ia seorang salik sejati. Salik sejati memilih untuk tidak populer di bumi agar populer di langit (majhul fil ardh ma’lum fis sama’).

Di atas langit masih banyak langit. Seorang salik tidak bisa angkuh dan menganggap orang lain rendah dan kotor atau menganggap salik selainnya keliru. Dalam Alquran surah al-Kahfi, Tuhan menegur Nabi Musa, sang manusia populer, dan mengunggulkan Khidhir, sang manusia biasa-biasa.

Oleh karena itu, kita pun harus hati-hati membaca orang, sebab Tuhan Mahapintar menyembuyikan kekasih-Nya di dalam berbagai topeng penampilan. Hati-hati! Orang yang suka menyalahkan orang lain pertanda masih harus belajar. Kalau sudah menyalahkan dirinya sendiri, berarti sudah sedang belajar. Kalau sudah tidak lagi pernah menyalahkan orang lain, berati sudah selesai belajar karena sudah arif.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement