Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar
Suasana batin yang paling perlu diwaspadai ialah ketika kita sedang dalam keadaan normal, saat semua kebutuhan tercukupi, apalagi berlebihan.
Musibah, hajat, dosa besar, dan berbagai kesulitan lebih sering mendorong seseorang untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT ketimbang kondisi batin yang sedang berkecukupan.
Tingkat kebutuhan hidup setiap orang berbeda-beda. Tapi, kebutuhan di dalam Islam dibedakan menjadi beberapa tingkatan.
Pertama kebutuhan dharury, yakni kebutuhan pokok, seperti makan, minum, dan berhubungan suami-istri.
Kedua, kebutuhan hajjiyat, yaitu kebutuhan yang penting, tetapi belum menjadi kebutuhan pokok, seperti kebutuhan tempat tinggal, kendaraan, dan alat komunikasi.
Terakhir, kebutuhan tahsiniyyat, yakni kebutuhan yang bersifat pelengkap, seperti perabotan bermerek, aksesori kendaraan, dan telepon genggam canggih.
Seseorang yang berada dalam tingkat kedua dan ketiga perlu berhati-hati. Karena, perjalanan spiritual dalam kondisi seperti ini sering kali jalan di tempat. Bahkan, berpeluang untuk diajak turun oleh berbagai daya tarik dan godaan dunia.
Berbeda jika seseorang sedang dirundung duka, diuji dengan kebutuhan mendesak, atau dilanda penyesalan dosa yang mungkin agak resisten terhadap godaan-godaan materi.
Kesenangan hidup, apalagi kalau sampai berlebihan, bawaannya sulit mendaki (taraqqi) ke langit.
Sebagai contoh, orang yang berkecukupan sulit sekali berlama-lama khusyuk dalam shalatnya, bukan hanya karena banyaknya godaan dunia yang ada dalam pikirannya, tetapi juga tidak punya tekanan batin atau trigger, semacam roket pendorong yang akan mengangkatnya ke langit.
Trigger itu biasanya suasana batin yang betul-betul merasa sangat butuh pertolongan Tuhan. Itulah sebabnya, Rasulullah pernah mengingatkan untuk waspada terhadap doa orang yang teraniaya (madzlum) karena doanya lebih cepat sampai kepada Tuhan.