Sabtu 17 May 2014 18:22 WIB

UU JPH Bisa Tertunda

Rep: c78/ Red: Damanhuri Zuhri
Sertifikasi Halal.    (ilustrasi)
Foto: Republika/ Tahta Aidilla
Sertifikasi Halal. (ilustrasi)

REPUBLIKA,

Proses pembahasan sarat kepentingan, tak merujuk kepentingan umat.

JAKARTA – Tinggal sedikit waktu tersisa untuk pembahasan Rancangan Undang-Undang Jaminan Produk Halal (RUU JPH). Jika dalam kurun waktu itu tak juga selesai, RUU ini tertunda lagi menjadi undang-undang.

Ketua Komisi VIII DPR Ida Fauziyah mengatakan, ada dua persidangan lagi bagi DPR periode 2009-2014. Yakni pada Juli lalu ada reses dan ada persidangan kembali pada Agustus atau September. ‘’Di persidangan itulah kami harapkan RUU bisa diselesaikan,’’ katanya, Jumat (16/5).

Menurut dia, Komisi VIII menargetkan untuk segera menuntaskan rancangan ini. Pertimbangannya, semakin dekatnya akhir masa tugas DPR periode 2009-2014. Tepatnya pada 30 September 2014 mendatang.

Namun jika akhirnya tak selesai, anggota DPR periode berikutnya yang akan melanjutkan pembahasan. Biasanya, setiap mengakhiri tugasnya, setipa komisi membuat progress report. Ini sebagai rekomendasi bagi anggota baru pada komisi tersebut.

Ida menjelaskan, meski anggota berganti tetapi kesekretariatan tidak berganti. Seluruh dokumen hasil kerja periode sebelumnya akan diwariskan kepada periode selanjutnya untuk diteruskan. Ia menyatakan, tak ada satu pihakpun yang dianggap kunci penyelesaian.

Hal yang sudah pasti, kata Ida, pembahasan mengenai badan yang bertanggung jawab atas sertifikasi halal sudah rampung. Badan ini berada di bawah Kementerian Agama (Kemenag). Tinggal bagaimana peran Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam proses sertifikasi halal.

Pakar halal, Anton Apriyantono mempertanyakan pendirian badan baru di bawah Kemenag. ‘’Kita ini terlalu banyak lembaga. Kalau sudah ada lembaga yang kerjanya sama lalu buat apa dibuat lagi yang baru?’’tanyanya.

Semestinya, tugas Kemenag  bukan sertifikasi tetapi membuat kebijakan. Selanjutnya, mereka mengawasi kebijakan itu agar sesuai undang-undang. Ia mendorong sertifikasi halal melalui satu pintu yaitu Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-Obatan, Kosmetika (LPPOM) MUI.

Dengan demikian, tak muncul perbedaan pandangan mengenai status halal. Sementara itu, pemerintah tetap bisa berperan dengan menjadi pengawas dan pembuat regulasi. “Harus ada pembagian kewenangan, jangan lagi pemerintah yang selalu jadi eksekutor,” ujar Anton.

Meski mendukung LPPOM MUI sebagai lembaga sertifikasi halal, ia menginginkan perbaikan sistem. Terutama peningkatan kredibilitas LPPOM MUI.  Mereka dituntut membuat sistem sertifikasi yang kredibel, bisa diaudit, dan dipertanggungjawabkan kepada publik.

‘’Harus ada sistem kontrol karena tidak boleh ada kewenangan absolut,’’ kata mantan menteri pertanian itu. Pendiri Halal Corner, Aisha Maharani menginginkan agar UU JPH nanti dapat menjawab permasalah pengawasan dan kredibilitas lembaga sertifikasi halal.

Saat telah diundangkan, seharusnya ada kekuatan hukum jika di lapangan muncul sejumlah penyimpangan. Khususnya terkait produk halal atau sertifikasi halal produk. Berdasarkan pengamatannya, banyak produk berlabel halal tetapi ada kandungan bahan yang tak halal.

Selama ini ketika ada pengusaha nakal berbuat seperti itu, selalu saja Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang dirujuk.  Aisha menilai badan baru sertifikasi halal akan butuh lama untuk mendulang kepercayaan publik.

Aisha juga mengkritik terkatung-katungnya pembahasan RUU JPH. Ia melihat, proses pembahasannya sarat kepentingan. Tidak merujuk pada kepentingan umat Islam. ‘’Saya berharap target selesai tahun ini dapat tercapai,’’katanya.

n c78

NUSANTARA

UU JPH Bisa Tertunda

Proses pembahasan sarat kepentingan, tak merujuk kepentingan umat.

JAKARTA – Tinggal sedikit waktu tersisa untuk pembahasan Rancangan Undang-Undang Jaminan Produk Halal (RUU JPH). Jika dalam kurun waktu itu tak juga selesai, RUU ini tertunda lagi menjadi undang-undang.

Ketua Komisi VIII DPR Ida Fauziyah mengatakan, ada dua persidangan lagi bagi DPR periode 2009-2014. Yakni pada Juli lalu ada reses dan ada persidangan kembali pada Agustus atau September. ‘’Di persidangan itulah kami harapkan RUU bisa diselesaikan,’’ katanya, Jumat (16/5).

Menurut dia, Komisi VIII menargetkan untuk segera menuntaskan rancangan ini. Pertimbangannya, semakin dekatnya akhir masa tugas DPR periode 2009-2014. Tepatnya pada 30 September 2014 mendatang.

Namun jika akhirnya tak selesai, anggota DPR periode berikutnya yang akan melanjutkan pembahasan. Biasanya, setiap mengakhiri tugasnya, setipa komisi membuat progress report. Ini sebagai rekomendasi bagi anggota baru pada komisi tersebut.

Ida menjelaskan, meski anggota berganti tetapi kesekretariatan tidak berganti. Seluruh dokumen hasil kerja periode sebelumnya akan diwariskan kepada periode selanjutnya untuk diteruskan. Ia menyatakan, tak ada satu pihakpun yang dianggap kunci penyelesaian.

Hal yang sudah pasti, kata Ida, pembahasan mengenai badan yang bertanggung jawab atas sertifikasi halal sudah rampung. Badan ini berada di bawah Kementerian Agama (Kemenag). Tinggal bagaimana peran Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam proses sertifikasi halal.

Pakar halal, Anton Apriyantono mempertanyakan pendirian badan baru di bawah Kemenag. ‘’Kita ini terlalu banyak lembaga. Kalau sudah ada lembaga yang kerjanya sama lalu buat apa dibuat lagi yang baru?’’tanyanya.

Semestinya, tugas Kemenag  bukan sertifikasi tetapi membuat kebijakan. Selanjutnya, mereka mengawasi kebijakan itu agar sesuai undang-undang. Ia mendorong sertifikasi halal melalui satu pintu yaitu Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-Obatan, Kosmetika (LPPOM) MUI.

Dengan demikian, tak muncul perbedaan pandangan mengenai status halal. Sementara itu, pemerintah tetap bisa berperan dengan menjadi pengawas dan pembuat regulasi. “Harus ada pembagian kewenangan, jangan lagi pemerintah yang selalu jadi eksekutor,” ujar Anton.

Meski mendukung LPPOM MUI sebagai lembaga sertifikasi halal, ia menginginkan perbaikan sistem. Terutama peningkatan kredibilitas LPPOM MUI.  Mereka dituntut membuat sistem sertifikasi yang kredibel, bisa diaudit, dan dipertanggungjawabkan kepada publik.

‘’Harus ada sistem kontrol karena tidak boleh ada kewenangan absolut,’’ kata mantan menteri pertanian itu. Pendiri Halal Corner, Aisha Maharani menginginkan agar UU JPH nanti dapat menjawab permasalah pengawasan dan kredibilitas lembaga sertifikasi halal.

Saat telah diundangkan, seharusnya ada kekuatan hukum jika di lapangan muncul sejumlah penyimpangan. Khususnya terkait produk halal atau sertifikasi halal produk. Berdasarkan pengamatannya, banyak produk berlabel halal tetapi ada kandungan bahan yang tak halal.

Selama ini ketika ada pengusaha nakal berbuat seperti itu, selalu saja Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang dirujuk.  Aisha menilai badan baru sertifikasi halal akan butuh lama untuk mendulang kepercayaan publik.

Aisha juga mengkritik terkatung-katungnya pembahasan RUU JPH. Ia melihat, proses pembahasannya sarat kepentingan. Tidak merujuk pada kepentingan umat Islam. ‘’Saya berharap target selesai tahun ini dapat tercapai,’’katanya.

n c78

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement