Halal haram versi siapa?
Standar halal di dunia internasional ada beberapa macam. Sementara Indonesia memiliki standar sendiri yang menurut MUI—berdasarkan pengalaman yang ada—lebih akurat. Malaysia mempunyai standar halal sendiri, demikian pula dengan negara-negara anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI).
Laboratorium halal di Malaysia bahkan dianggap sebagai salah satu yang terbaik di dunia. Oleh sebab itu, standar halal yang diterapkan di negeri Jiran itu diakui dunia internasional.
“Untuk standar halal saat ini orang banyak merujuk ke Malaysia. Di negara itu terdapat banyak laboratorium yang didukung oleh lembaga riset yang bagus,” kata Kepala Pengujian Kimia PT Sucofindo, Adisam ZN.
Metode pengujian dan riset halal yang dilakukan di Malaysia banyak diterbitkan dalam bentuk jurnal. Beberapa auditor ahli di Indonesia ternyata banyak yang belajar di Malaysia. “Sejumlah peneliti Malaysia juga sering mendapatkan penghargaan internasional dalam pengujian halal,” imbuh Adisam.
Ketua MUI Bidang Perekonomian dan Produk Halal KH Amidhan Shaberah mengatakan, semua standar halal yang ada memiliki perbedaan. Namun dalam kajian fikih, perbedaan tersebut masih dapat diterima.
Dalam kajian halal ada istilah yang disebut istihalah dan intifa’. Istilah adalah proses mengubah sesuatu yang haram menjadi halal. Sedangkan intifa’ berarti memanfaatkan sesuatu yang haram agar menjadi halal. Ada sejumlah negara yang membolehkan intifa’, karena alasan darurat atau semacamnya.
Namun, kata Amidhan, MUI tidak mau menggunakan kedua istilah di atas. MUI lebih hati-hati dalam soal halal dan haram.
Misalnya, walau Alquran membolehkan umat Islam memakan sembelihan Ahlul Kitab, MUI tidak mau menerima itu. “Kita lebih memilih untuk memakan sembelihan orang Muslim,” ujarnya. (bersambung)