REPUBLIKA.CO.ID, Menyikapi tiga perbedaan pokok dalam pembahasan RUU tersebut, Direktur Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Kemenag Mukhtar Ali mengaku telah berkoordinasi dengan MUI untuk mencari titik temu. “Kami telah memberi peran cukup besar kepada MUI,” ujarnya.
Urusan laboratorium, kata Mukhtar, akan berada di bawah pemerintah. “Untuk memudahkan saja, karena jangkauan laboratorium pemerintah sampai ke seluruh Indonesia. Tak mungkin produsen daerah harus membawa produk mereka ke Jakarta.”
Namun, Direktur LPPOM MUI Lukmanul Hakim menyanggah klaim tersebut. Ia mengatakan, laboratorium LPPPOM-MUI terdapat di 33 provinsi.
Selain bekerja sama dengan laboratorium milik perguruan tinggi, LPPOM-MUI juga punya lab sendiri. Walau tidak semua LPPOM-MUI Provinsi memiliki laboratorium sendiri.
Sebab, kata Lukman, dalam proses sertifikasi halal, laboratorium itu adalah salah satu pendukung. Bukan satu-satunya pendukung dalam penetapan halal. “Memang kita butuh lab, tapi adakalanya kita melakukan sertifikasi tanpa melibatkan analisa laboratorium.”
Menurut Lukman, polemik yang terjadi selama hampir 10 tahun ini disebabkan oleh pembahasan yang difokuskan pada sertifikasi halal dan perubahan konstruksi sertifikasi halal. Padahal, sertifikasi halal yang dilakukan LPPOM-MUI sudah berjalan puluhan tahun.
Ia mengaku tidak tahu apakah ada pihak yang bermain dalam hal ini. MUI dan Kementerian Agama, menurutnya, tak pernah bermasalah selama ini. Namun, kini seolah-olah kedua lembaga itu dibenturkan.
Ledia Hanifa juga menampik adanya tekanan dari pengusaha yang bermain dalam proses legalisasi RUU JPH. “Saya belum menemukan adanya tekanan dari pengusaha. Asosiasi pengusaha juga kita undang agar mereka tahu dan dapat menyampaikan informasi tentang pengaturan produk halal ini.” (bersambung)
Grafik Sertifikat Halal yang Dikeluarkan LPPOM-MUI
Tahun Sertifikat Halal Produk Perusahaan
2010 750 27.121 692
2011 650 26.413 623
2012 653 19.830 626
2013 1.092 47.545 832
2014 (Maret) 912 23.713 1.337
Sumber: LPPOM-MUI