REPUBLIKA.CO.ID, Sepuluh tahun lamanya pembahasan Rancangan Undang-Undang Jaminan Produk Halal (RUU JPH) mangkrak di DPR. Bagaimana nasibnya ke depan?
Siang itu, Rabu (16/4), aula pertemuan di lantai dua Gedung Halal Center Bogor penuh sesak. Di ruangan berukuran sekitar 5 x 10 meter itu tengah digelar Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Lembaga Pengkajian Pangan Obat-Obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM-MUI). Hadir dalam Rakornas tersebut adalah utusan LPPOM-MUI dari seluruh Indonesia.
Salah satu tema utama yang dibahas dalam Rakornas adalah sikap LPPOM-MUI dan MUI terkait polemik RUU JPH yang belum juga disahkan DPR. Bagi MUI, kewenangan sertifikasi harus tetap di pihak mereka, atau tidak sama sekali.
“Sikap MUI sudah jelas dan tegas, khuz kullahu au utruk kullahu, ambil seluruhnya atau tinggalkan seluruhnya. Take it or leave it!” kata Ketua Umum MUI Din Syamsuddin dalam sambutannya saat membuka Rakornas, yang disambut gemuruh aplaus hadirin.
MUI tidak mau hanya diberi otoritas dalam soal fatwa semata. Sebab, dalam pemahaman MUI, Sertifikat Halal itu adalah formalisasi fatwa yang tidak bisa dipisahkan dari fatwa.
“Jika MUI hanya disuruh mengeluarkan fatwa halal saja, sementara sertifikasinya dilakukan oleh Kementerian Agama, maka akan tampak lucu saja,” ujar Din.
Menjelang berakhirnya tugas anggota parlemen periode 2009-2014, pembahasan RUU JPH belum juga menemui titik terang.
DPR berkilah, alotnya pembahasan RUU itu karena penyusun undang-undang perlu membuat keputusan terbaik dari semua pihak yang dilibatkan. “Tidak pernah ada satu pihak pun sengaja menunda pengesahan,” kata Ledia Hanifa kepada Republika beberapa waktu lalu.
Menurut Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU JPH DPR itu, hingga saat ini, belum ada persamaan antara DPR dan pemerintah serta pihak lainnya. Persamaan persepsi pada pikiran pokoknya saja belum ditemukan, apalagi bicara tentang pasal.
Ada tiga pikiran pokok yang menjadi perdebatan, yakni soal kelembagaan, peran MUI, dan sifat pengaturan sertifikasi halal. (bersambung)