Jumat 02 May 2014 02:35 WIB

Rukyat Qobla Ghurub Dinilai Tak Mendasar

Rep: Fuji Pratiwi/ Red: Julkifli Marbun
Logo Persis
Logo Persis

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Metode penentuan awal bulan baru menggunakan metode Rukyat Qobla Ghurub dinilai tidak mendasar karena tidak mengikuti kaidah penentuan hari dalam Islam, yakni malam hari.

Ketua Lajnah Falakiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Ghazali Masruri mengatakan penentuan hari dan bulan haruslah mengikuti Alquran dan sunnah. Dalam Islam, hari dimulai pada malam. Sementara awal bulan adalah ketika matahari terbenam yang disusul penampakan hilal pada hari terjadinya konjungsi.

Meski diklaim dapat menyatukan perbedaan pihak yang menggunakan metode hisab dan rukyat, Ghazali mengatakan NU tidak bisa menerima metode RQB. Ghazali mengungkapkan metode ini menyalahi konsep rukyat yang sebenarnya karena hari dalam Islam tidak dimulai siang.

''Justru Rukyat Qobla Ghurub tidam menyatukan karena tidak sesuai Alquran dan sunnah,'' kata Ghazali, Kamis (1/5).

Diakui Ghazali, penggunaan alat astofotografi sudah lama dikenal NU. Tapi, penggunaannya tidak untuk penelitian. Hilal bisa saja terlihat di siang hari, tapi belum tentu bisa dilihat malam harinya.

NU memiliki Nadlatul Ulama Mobile Observatory (NUMO) sehingga alat astrofografi yang digunakan RQB bukan alat istimewa. ''Rukyat NU menggunakan teleskop, tidak dengan mata telanjang,'' ungkap Ghazali.

NU sendiri menggunakan metode rukyat sebagai metode penentu hari dan bulan. Untuk rukyat berkualitas, kata Ghazali, harus didukung hisab kontemporer.

Tapi, karena hisab itu hitungan manusia, maka harus dibuktikan dengan rukyat. Rukyat pun harus dilakukan sesuai tuntunan Rasulullah.

Ghazali menuturkan hisab itu bukan dari Islam. Meski bisa digunakan, tapi tidak boleh mengganti Alquran dan hadits.

Sekretaris Dewan Hisab Pengurus Pusat Persatuan Islam (PP Persis) Syarief Ahmad Hakim mengungkapkan Persis menolak metode RQG untuk menentukan awal dan akhir bulan Hijriyah. Sebab, tidak ada dalil landasan yang mendukung.

Hasil foto bulan pada siang hari tidak masalah jika hanya untuk penelitian. Masalahnya, kata Syarief, hasil foto itu dijadikan penentuan waktu yang berkaitan dengan ibadah, seperti awal dan akhir Ramadhan.

''Karena berhubungan dengan ibadah, maka harus pakai dalil. Rukyat pada siang haru, belum ada dalilnya. Rasulullah mencontohkan rukyat hilal saat maghrib,'' jelas Syarief.

Syarief mengungkapkan Persis beberapa kali berganti metode penentuan hari. Pada Maret 2012, Persis menggunakan metode imkanu rukyat astronomis.

Pada 2002, Persis menggunakan metode imkanu rukyat MABIMS. Pernah pula menggunakan metode wujudul hilal. Metode ijtima qobla ghurub pun pernah digunakan pada periode 1960an hingga awal 1990an.

Imkanu rukyat astronomis merupakan metode hisab, bukan rukyat. Tapi penerapannya mempertimbangkan hilal paling rendah yang pernah terlihat.

Rukyat penting untuk mengoreksi hasil hisab. Tapi,  hisab yang dilakukan Persis pun  menggunakan pengalaman dan 737 rekam data rukyat hilal seluruh dunia.

Syarief mengatakan 1 Ramadhan tahun ini Persis kemungkinan akan sama dengan pemerintah, pada 29 Juni. Meski berbeda dengan Muhammadiyah yang menetapkan 1 Ramdhan pada 28 Juni, tapi Idul Fitri akan jatuh bersamaan.

Perbedaan ini, kata Syarief, karena berbeda kriteria sehingga hasilnya pun berbeda. Bagi Persia ada dua variabel untuk menentukan akan ikut 1 Ramadhan hasil keputusan pemerintah atau Persis jika ada perbedaan, yakni yang menghitung dan yang memutuskan.

Untuk menentukan, Persis mengembalikan kepada ketua umum, mau mengikuti Dewan Hisab atau pemerintah. Sebab,  menurut Persis, ulil amrinya adalah ketua umum.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement