Sabtu 12 Apr 2014 12:07 WIB

KH Abbas Abdul Djamil, Cendekiawan Pemberani dari Buntet (1)

KH Abbas Abdul Djamil.
Foto: Blogspot.com
KH Abbas Abdul Djamil.

Oleh: Rosita Budi Suryaningsih      

“Kita harus lebih dahulu memberi kepada orang lain.”

(KH Abbas, 1946 M)

Sosok mujadid (pembaru) ini berasal dari tanah Cirebon, KH Abbas. Putra sulung dari KH Abdul Jamil, pengasuh Pondok Pesantren Buntet, Cirebon, itu lahir pada 24 Dzulhijah 1300 H atau 1879 M di Cirebon. Masa kecilnya dihabiskan untuk belajar ilmu-ilmu agama, baik yang ia peroleh secara langsung dari sang ayah maupun ulama yang lain.

Ia belajar dengan Kiai Nasuha dari Plered, Cirebon, kemudian pesantren di Jatisari yang diasuh Kiai Hasan. Ia memperdalam ilmu tauhid kepada Kiai Ubaedah di Pesantren Giren, Tegal. Ia menimba ilmu di Pesantren Tebuireng di Jombang bersama KH Hasyim Asy'ari.

Selama nyantri di Tebuireng, ia dikenal sebagai sosok pemuda yang cerdas, pemberani, pandai bergaul, berjiwa pemimpin, terampil, dan penuh kreativitas. Ia pun menjalin persahabatan dengan KH Wahab Chasbullah, putra KH Hasbulloh Said, pengasuh Pesantren Tambakberas, Jombang.

Kiai Abbas kemudian menikah dan menunaikan ibadah haji. Saat berada di tanah Arab, ia bertemu dengan kawan-kawannya yang sedang menimba ilmu di sana.

Mereka pun kerap berdiskusi tentang perkembangan berbagai wacana keislaman di Tanah Suci, juga pergerakan nasional di Tanah Air. Ia juga bertemu dengan ulama-ulama besar Makkah dan Madinah serta ulama terkemuka lainnya.

Ia kemudian pulang ke Tanah Air. Tak lama kemudian, ia kembali ke Jazirah Arab guna belajar agama, terutama ilmu bacaan Alquran, tafsir, dan hadis. Ia tinggal di Makkah bersama Syekh Ahmad Zubaidi.

Abbas berguru pada Syekh Machfudz at-Termasi dan Syekh Chatib. Ia bersama para cendekiawan Muslim lainnya dari Indonesia banyak menggelar pertemuan dan pengajian. Ia tampil sebagai pengajar tepat pada usia 40 tahun.

Memajukan pesantren

Ia kembali ke Indonesia dan menjadi penerus ayahnya dalam mengelola Pesantren Buntet. Ia pun menetapkan standar-standar baru dan membuat pesantren ini semakin maju.

Ia menggambarkan pesantren itu layaknya pasar. Siapa saja boleh datang dan dilayani tanpa boleh dibedakan. Kebutuhan yang datang pun tidak semuanya sama, ada yang hanya ingin belajar baca huruf arab, ada pula yang lebih membutuhkan ilmu tauhid, atau ingin memperdalam ilmu tafisr, fikih, qiraat, dan lain sebagainya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement