Ahad 23 Mar 2014 15:59 WIB

Pasang Surut Kedermawanan Nusantara (3-habis)

Masjid Al-Azhar dibangund di atas tanah wakaf.
Foto: Republika/Agung Supri
Masjid Al-Azhar dibangund di atas tanah wakaf.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Rosita Budi Suryaningsih

Masyarakat Indonesia dikenal dermawan.

Bentuk baru ini muncul mengambil ide, baik dari kemajuan Barat, dari dunia Islam di Timur, maupun wacana dalam negeri sendiri, yang berkembang mulai awal abad ke-20 dan mengalami pasang surut sesuai dengan kondisi politik, ekonomi, dan sosial masyarakat dan negara, serta merambah ke berbagai institusi dan organisasi, termasuk media dan organisasi politik.

Fonds Sabilillah bisa dikatakan yayasan zakat pertama yang didirikan setelah kemerdekaan, yaitu tahun 1947, sebagai jihad untuk membangun kedaulatan Indonesia dan mengusir kolonial.

Pada masa Orde Lama ini setidaknya yang lebih banyak berkembang adalah wakaf, khususnya dalam bidang pendidikan.

Misalnya pada 1948, berdiri Stichting (Wakaf) Republik yang bergerak pada penerbitan dan perpustakaan untuk semua kalangan, pada 1950 berdiri Yayasan Wakaf Perguruan Tinggi Islam Jakarta, dan ketika 1951 berdiri Yayasan Wakaf Universitas Islam Indonesia.

Pondok modern Gontor mengawali cara transformasi wakaf tradisional pondok pesantren menjadi wakaf modern, yang dilakukannya pada 1958.

Sejak awal kemerdekaan, beberapa yayasan wakaf modern melanjutkan prinsip keadilan sosial bagi penerima wakafnya tanpa diskriminasi agama dan kewarganegaraan. Namun, akibat pengotak-kotakan politik yang tajam, pembatasan stakeholder khusus untuk Muslim semakin mengemuka.

Pada masa Orde Baru, Presiden Soeharto memprakarsai salah satu bentuk filantropi Islam yang dikenal sebagai Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila (YABMP).

Tata caranya, yayasan ini memunguti uang sebesar Rp 1.000 kepada setiap PNS dan ABRI untuk kemudian dibangun masjid dan untuk mendukung aktivitas dakwah.

Upaya pendirian badan amil zakat tidak bisa dibendung oleh pemerintah yang mencoba mengalihkan menjadi amil zakat individu dan akhirnya amil zakat tingkat provinsi yang biasa disebut sebagai Badan Amil Zakat Infak dan Sedekah (BAZIS).

Orde Baru pun berakhir dan kemudian berdirilah lembaga filantropi resmi swasta pertama di Indonesia, yaitu Dompet Dhuafa Republika.

Yayasan filantropi seperti inilah yang kemudian menjadi model baru lembaga filantropi serupa di negeri ini, yang lingkupnya nasional dan memberikan bantuan dengan analogi memberikan kail tersebut.

Selain program bantuan bencana, berbagai program dalam bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan lainnya terus dilakukan dan dikembangkan.

Pemerintah pun kemudian memfasilitasi aktivitas filantropi ini dengan dibentuknya Direktorat Zakat dan Wakaf di Kementerian Agama dan Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), serta Badan Amil Zakat Daerah (BAZDA) di tingkat provinsi.

Selain melalui lembaga seperti ini, bentuk solidaritas dan filantropi pada sesama juga tertuang dalam berbagai kegiatan corporate social responsibility (CSR) dari berbagai perusahaan.

Bahkan, berbagai perusahaan besar kini seakan berlomba agar bisa membuat program CSR yang tepat sasaran dan bermanfaat, serta menolong masyarakat yang berada di sekitar perusahaan atau pihak lain yang membutuhkan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement