Oleh: Rosita Budi Suryaningsih
Dari dulu, sejak sebelum Indonesia merdeka pesantren sudah ada. Dan kini, pesantren pun semakin bertambah banyak dengan model pembelajaran yang berbeda.
Dari data yang diperoleh pada 2012, jumlah pesantren di Indonesia mencapai 27.230 buah. Jumlah santri (orang yang menimba ilmu di pesantren) sebanyak 3.759.198 dengan 50,19 persen merupakan santri laki-laki.
Pada zaman orde lama, pesantren sering diremehkan. Para santri pun disebut dengan kaum bersarung yang dianggap tidak intelek karena hanya tahu ilmu agama saja dan tidak terbuka pada pemikiran dan pengetahuan yang baru.
Persepsi negatif pada pesantren kini perlahan memudar. Jika dulu pesantren adanya di remote area, kini pesantren juga hadir di tengah kota. Contohnya, Pondok Pesantren Darunnajah di Ulujami, As-Sidiqiyah di Jakarta Barat. Dan, banyak lagi pondok pesantren yang lokasinya ada di tengah kota lainnya.
Lulusan pesantren pun tidak bisa dianggap remeh lagi. Justru, mereka punya kelebihan dibandingkan lulusan sekolah umum biasa. Jika lulusan sekolah umum hanya bisa menguasai ilmu yang sesuai dengan kurikulum pendidikan yang ditetapkan, lulusan pesantren juga menguasai ilmu tersebut, ditambah dengan dikuasainya juga ilmu agama secara bersamaan.
Gerakan pengembangan pesantren kini juga sudah tidak lagi bersifat Javasentris yang tadinya hanya berpusat di Pulau jawa. Pulau-pulau lainnya, seperti Sumatra, Sulawesi, Kalimantan, bahkan Papua kini ramai-ramai mengembangkan pesantren.
Fungsi pesantren
Abdullah Nata menjabarkan, fungsi pesantren dulu ada tiga, yaitu reproduction of ulama, tempat lahirnya para ulama dan ahli agama. Kedua sebagai transmition of Islamic knowledge, dan terakhir adalah transmition Islamic culture.
Ketiga, fungsi pesantren ini terus dipegang hingga kini, terutama pesantren salafiyah. "Pesantren salafiyah berarti tradisional," katanya. Disebut juga Al atib atau bersumber pada ilmu murni, original.
Selain menjadi tempat melahirkan para ulama, pesanten menjadi tempat untuk melestarikan budaya Islam. Budaya Islam dipraktikkan dalam keseharian para santri, kitab-kitab dibedah, dipahami maknanya, kemudian setelah lulus dari pesantren, diajarkan pada masyarakat di sekitarnya.
Cara pembelajaran pada pesantren ini bisa dianalogikan seperti banking system. "Yaitu, salah satu murid harus bisa memahaminya secara tuntas," jelasnya.