Jumat 07 Mar 2014 01:28 WIB

Kesalehan Ekologi

Petani membawa bibit padi untuk ditanam di persawahan.
Foto: Republika/Aditya Pradana Putra
Petani membawa bibit padi untuk ditanam di persawahan.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhbib Abdul Wahab

al-Insan ibn bi’atihi (Manusia itu anak lingkungannya). Pepatah Arab ini mengandung arti kita memiliki hubungan simbiosis-mutualisme dengan lingkungan hidup kita.

Di satu pihak kita dibesarkan dan dipengaruhi oleh lingkungan kita, dan di sisi lain kita juga berperan besar dalam merawat dan menjaga kelestarian lingkungan.

Dengan demikian, kita harus bersikap harmoni terhadap lingkungan kita, dengan tidak mengeksploitasi dan merusaknya.

Dalam banyak hal, manusia cenderung lebih gampang memanfaatkan dan merusak lingkungan hidup, daripada menanam dan menjaga kelestariannya.

Karena membendung nafsu serakah untuk mengeksploitasi alam itu jauh lebih sulit daripada menumbuhkan kesadaran dan kesalehan ekologis.

Kecerdasan lingkungan (environmental quotion) bangsa kita idealnya terus meningkat, karena hampir setiap saat kita dihadapkan kepada aneka bencana alam.

Kita akan semakin cerdas lingkungan jika selalu mengambil pelajaran dan hikmah dari banjir bandang, banjir rob, tanah longsor, tsunami, kekeringan berkepanjangan, dan sebagainya.

Oleh karena itu, kesadaran untuk merawat dan tidak menebang pohon sembarangan juga perlu dikampanyekan dan disosialisasikan.

Sebaliknya, gerakan menanam pohon dan menghijaukan lingkungan (reboisasi) harus mendapat respon positif dari semua pihak.

Dalam hal ini, Nabi SAW pernah melarang umatnya melakukan penebangan pohon, lebih-lebih pohon itu berfungsi sebagai tempat berteduh manusia atau hewan.

Rasulullah SAW pernah melarang menebang pohon di tanah gurun yang menjadi tempat berteduh manusia atau hewan, dan menganggapnya sebagai arogansi dan aniaya.” (HR. Abu Dawud).

   

Sejalan dengan itu, pemanfaatan lahan produktif untuk bercocok tanam, bertani, dan peningkatan produksi bahan pangan merupakan perintah agama.

Artinya, dalam rangka pemeliharaan lingkungan, kita dilarang untuk menelantarkan lahan produktif agar memberi nilai manfaat bagi umat manusia.

Jabir ibn Abdullah ra. berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Dahulu ada beberapa orang memiliki tanah lebih, lalu mereka berkata: “Lebih baik kami sewakan dengan hasilnya sepertiga, seperempat atau separuh. Tiba-tiba Nabi Saw bersabda: Siapa yang memiliki tanah, maka hendaknya ditanami atau diberikan kepada saudaranya, jika tidak diberikan, maka hendaklah ditahan saja.”  (HR. al-Bukhari dan Muslim)

   

Oleh karena itu, menanam pohon, tanaman, atau tumbuhan yang memberi nilai manfaat sangatlah  penting bagi kelangsungan hidup manusia dan makhluk lain.

Bahkan, jika tanaman itu dimakan burung,  binatang, atau manusia, maka yang dimakan itu dinilai sebagai sedekah; dan sang pemilik tanaman itu mendapatkan pahala dari Allah SWT.

Hadis berikut juga menunjukkan pentingnya gerakan pemanfaatan lahan tidur (yang tidak ditanami) menjadi lahan produktif.

Dengan memanfaatkan lahan menjadi produktif, kelestarian lingkungan menjadi terjaga dan memberi nilai tambah bagi semua.

Rasulullah SAW bersabda: Tiada seorang Muslim yang menanam tanaman kemudian dimakan oleh burung, manusia, atau binatang, melainkan tercatat untuknya sebagai sedekah. (HR. al-Bukhari Muslim)

Dengan demikian, penelantaran lahan atau tanah yang produktif sama artinya tidak memedulikan kelestarian lingkungan.

Dalam pelestarian lingkungan, prinsip utama yang harus dipedomani Muslim adalah prinsip kemanfaatan, sesuai dengan hadits Nabi: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak memberi manfaat bagi orang lain.” (HR al-Thabarani).

Selain itu, prinsip keberkahan, kasih sayang, dan ampunan dari Allah SWT juga merupakan prinsip sosial yang perlu diyakini dan diaplikasikan dalam pemeliharaan lingkungan.

Dalam hal ini, Nabi SAW bersabda: “Ada golongan hamba yang pahalanya terus mengalir, sementara ia telah berada dalam kubur setelah kematiannya, yaitu: orang mengajarkan ilmu, mengalirkan sungai, menggali sumur, menanam pohon, membangun masjid, mewariskan mushhaf, dan meninggalkan anak yang selalu memintakan ampun orang tuanya setelah kematiannya.” (HR. al-Baihaqi, Ibn Abi Dawud, al-Bazzar, dan ad-Dailami).

Dalam hadits lain, Nabi SAW pernah berpesan kepada para pasukannya ketika hendak pergi menuju medan perang untuk tidak: pertama, membuang kotoran (sampah) di tempat aliran sungai, kedua, menebang pohon tanpa alasan, dan ketiga buang air kecil atau air besar (BAB) di bawah pohon yang biasa dilewati atau digunakan manusia berteduh.

Jadi, pelesatarian lingkungan itu sangat tergantung pada faktor manusianya. Reboisasi tidak akan berhasil jika hutan atau tanaman selalu digunduli secara ilegal.

Optimalisasi fungsi lingkungan alam, lingkungan hidup menjadi sangat penting karena ekosistem ini dapat menentukan kualitas hidup kita.

Jika lingkungan kita rusak (tidak sehat, tidak bersih, tidak indah, tidak nyaman), maka kualitas hidup  menjadi terganggu dan tidak nyaman.

Dengan demikian, pendidikan lingkungan merupakan bagian dari pendidikan Islam yang perlu mendapat perhatian serius dari semua pihak, mulai dari diri sendiri hingga para petinggi negeri ini agar berbagai bencana dan musibah dapat dicegah dan dihindari.

Esensi kesalehan ekologis adalah menjaga, melestarikan, mengelola, memperbaiki, dan mendayagunakan lingkungan demi kesejahteraan hidup manusia sekaligus memberikan kenyamanan untuk beribadah dan mewujudkan masa depan yang lebih baik.

Dengan memiliki kesalehan ekologis,  kita hendaknya semakin ramah dan harmoni terhadap lingkungan sekitar kita, karena kita juga yang akan merasakan akibatnya jika kita tidak bersikap saleh terhadapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement