Kamis 06 Mar 2014 19:20 WIB

Sakralitas Pernikahan di Afghanistan (1)

Gadis Afghanistan (ilustrasi).
Foto: Embassyofafghanistan.org
Gadis Afghanistan (ilustrasi).

Oleh: Nashih Nashrullah

Lanjutan prosesi nikah dihelat pada hari ketiga atau ketujuh pascanikah.

Pernikahan merupakan hubungan yang sakral, mempertemukan laki-laki dan perempuan dalam sebuah ikatan suci. Tradisi prosesi pernikahan di sejumlah negara cukup beragam, sesuai dengan adat istiadat yang telah lama dianut dan dilakoni masyarakat setempat.

Tengok sejenak prosesi pernikahan di negara yang berarti Tanah Afghan itu. Prosesi tersebut memiliki akar tradisionalitas sekaligus sakralitas yang sangat kental.

Fazl ur Rahim Muzaffari dalam Afghan Muslim Wedding, seperti yang dikutip dari OnIslam.net, menyebutkan tidak seperti kebanyakan negara, muda-mudi di Afghanistan tidak memiliki kesempatan banyak untuk saling bertatap muka.

Bahkan, proses perkenalan menuju pernikahan berlangsung cukup singkat dan sederhana. “Bahkan, tergesa-gesa,” katanya. Menurutnya, bila calon pasangan belum dikenal oleh pihak keluarga maka langkah yang pertama dilakukan oleh orang tua ialah cek dan ricek.

Pemeriksaan itu meliputi latar belakang, moral, paras, dan ihwal keluarga mereka. Bila hasil pemeriksaan baik maka pihak mempelai laki-laki akan mengirim utusan ke keluarga calon mempelai wanita untuk membicarakan rencana mempersunting tersebut. Bila beruntung, proses berikutnya pun dilalui, yakni penentuan tanggal berdasarkan kesepakatan bersama.  

Lamaran

Dalam tradisi masyarakat Afghanistan, lamaran yang dilakukan calon mempelai pria ke pihak keluarga perempuan disebut dengan istilah Shereny Khory atau namzady. Ayah calon mempelai pria yang disertai dengan sejumlah anggota keluarga, menyambangi rumah keluarga calon istri dengan membawa bingkisan manisan, hadiah, uang, dan pakaian.

Setelah berbasa-basi, keluarga calon pengantin pria, mengutarakan maksud dan tujuannya dan menempatkan diri seolah-olah tengah mengajukan sebuah permintaan agung. Permintaan ini lantas direspons dengan penerimaan lapang dada oleh seorang tetua kampung atau tokoh yang dihormati warga setempat.

Mereka merupakan kepanjangan tangan dari keluarga perempuan. Kedua belah pihak lantas membahas dan menyepakati hal-hal, seperti mahar, perhiasan, biaya pernikahan, dan kebutuhan yang lain.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement