Selasa 04 Mar 2014 14:15 WIB

Mengenal Tarian Sufi Shema (2-habis)

The Whirling Darwishes.
Foto: Trekearth.com
The Whirling Darwishes.

Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar

Setelah itu, satu persatu berdiri berbaris lembut menghampiri syekh. Selepas melakukan penghormatan kedua kali terhadap syekh, maka satu persatu mereka mulai berputar seperti gasing.

Tangan kanan lurus ke samping dengan telapak tangan menengadah ke atas sebagai simbol hamba (‘abid) yang memohon kedekatan diri kepada Sang Khaliq, sementara tangan kiri lurus ke samping menengadah ke bawah sebagai simbol khalifah, yang menyalurkan kasih kepada para makhluk lainnya.

Kaki kiri seolah menancap (istiqamah) sambil berputar di tem pat dan kaki kanan yang sering terangkat sambil berputar. Pakaian yang mirip rok panjang melebar bagai kipas yang terhampar yang kesemuanya merupakan lambang dari berbagai makna yang terkandung di dalamnya.

Perintis tarian sufi ini ialah seorang tokoh sufi tersohor, Maulana Jalaluddin Rumi (1207-1273). Di atas pusarannya di Konya, Turki, tertulis: Imam al-Auliya’ (imam para wali). Ia seorang ulama besar; selain lebih populer sebagai seorang sufi ia juga dikenal sebagai pakar fikih, ulama kalam (teologi), dan sastrawan ulung yang melahirkan setidaknya empat karya terbesar, yaitu: Matsnawi, Dewan-e Kabir (Dewan-e Tabrizi), Fihi ma Fihi, dan Makatib.

Namanya dikenal luas di Iran, Tajikistan, Afghanistan, Asia Timur, termasuk Asia Tenggara. Ayahnya seorang ulama besar bernama Bahauddin Walad, yang karena kepintarannya bergelar Sulthan al-Ulama (sultan para ulama).

Ibunya bernama Mu’minah Khatun yang sehari-hari dipanggil sebagai Mami, panggilan akrab seorang ibu dalam bahasa Persia.

Shema sesungguhnya bukan hiburan dan tontonan biasa, melainkan lebih merupakan upacara ritual. Makanya itu, tidak sembarangan orang bisa melakukan tarian ini. Pada mulanya orang-orang yang akan menjadi penari Shema harus dibaiat dan menjalani latihan serta ujian.

Setelah dinyatakan lulus, baru bisa bergabung sebagai penari sufi . Ujiannya sungguh berat, selain harus dipastikan sudah tidak ada lagi masalah dalam praktik syariah, juga harus menjalani penyucian batin. Banyak pantangan yang harus dijalani seorang penari sufi.

Tentu saja, selain larangan-larangan syariah juga harus memelihara muruah dan ketawadhuan. Baik kepada para leluhur syekh dan mursyid yang sudah wafat juga kepada mursyid dan guru-guru yang masih hidup.

Berdasarkan penuturan langsung seorang penari kepada penulis, seusai menjalankan tari sufi nya di salah satu padepokan sufi di Konya, Turki. Manakala seorang penari jatuh di dalam tarian, ia harus menyembelih seekor kambing karena penari yang jatuh berarti kurang khusyuk. Jika khusyuk, berapa lama pun tidak akan jatuh, katanya.

Latar belakang penari beragam, bukan hanya santri profesional. Penari yang diwawancarai penulis adalah seorang pengusaha sukses. Ia memiliki beberapa kios di pasar sentral Konya. Ada pula pejabat penting dan ragam profesi lainnya.

Tarian sufi merupakan sarana un tuk memperoleh ketenangan batin, karena itu sangat diminati oleh banyak orang dari berbagai kalangan. Hanya saja, penentuan boleh-tidaknya menjadi penari diten tu kan oleh pemimpin spiritualnya, yang biasa disebut mursyid atau khalifah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement