Oleh: Nashih Nashrullah
Dalam konteks apakah pendidikan itu termasuk hak anak atau sekaligus pula hak ibu, Prof Abd al Karim Zaidan menjelaskan kedua persoalan itu dalam bukunya berjudul Al-Mufashal fi Ahkam al-Marati.
Permasalahan pertama yang ia bahas ialah soal status pengasuhan itu. Ia mengutip pendapat para ulama mazhab.
Menurut Mazhab Hanafi, pengasuhan anak itu adalah hak bagi ibu dan dianggap hak pula untuk si anak. Pendapat ini disampaikan oleh al-Jashash. Ia mengatakan, seorang ibu itu berhak membesarkan anak selama ia masih kecil sekalipun tak perlu lagi asupan ASI.
Mazhab Syafii menyebut, pengasuhan anak adalah hak bagi ibu. Syekh as-Syarbini mengatakan hal itu dalam Mughni al-Muhtaj. Menurutnya, hak itu akan tetap berada di tangan ibu. Bila ia menghilang atau berhalangan seperti sakit berkepanjangan, hak itu berada di pihak nenek.
Dalam kondisi berhalangan seperti ini, ibu si anak tidak boleh dipaksa mengasuh selama yang bersangkutan tidak menanggung beban nafkah. Kecuali jika tidak terdapat sosok ayah dan ialah pencari nafkah, ia wajib dipaksa mengasuh.
Pandangan ulama Mazhab Maliki terpecah. Ada yang berpendapat pengasuhan itu adalah hak bagi ibu. Sebagian lain berpandangan pengasuhan tersebut adalah hak bagi anak. Seandainya sang ibu membatalkan haknya tersebut tanpa sebab, kemudian ia ingin mengambilnya kembali, ia tidak berhak.
Ini karena hak asus tersebut adalah milik ayah, menurut pendapat yang populer. Merujuk opsi yang lain, ia bisa mengambilnya kembali.
Menurut Mazhab Hanbali, jika seorang ibu menolak mengasuh, ia tidak dipaksa. Karena, mengasuh anak bukanlah kewajiban atasnya. Ini berarti bahwa pengasuhan anak bukan kewajiban bagi ibu, melainkan adalah hak. Hak tidak boleh ada pemaksaan.
Maka, Syekh Alauddin kembali menguraikan, dalam kondisi seperti di atas, seorang ibu diperbolehkan menitipkan anaknya ke penitipan anak seperti play group untuk waktu tertentu dan bukan selamanya, selama hal itu tidak malah berdampak negatif pada anak.
Selain itu pula, lembaga tempat anak dititipkan harus amanat dan berkualitas, terutama menekankan pada pendidikan keagamaan. Namun, bila yang bersangkutan mendapati risiko bagi anak yang dititipkan lebih besar, agar ibu tersebut memegang langsung pendidikan anaknya.
Terkait penghidupan, disarankan mencari profesi yang tidak terlalu padat. “Syukur bila pekerjaannya bisa dikerjakan di rumah,” kata Syekh Alauddin.