Jumat 21 Feb 2014 09:59 WIB

Jalan Hidup Salikin: Ma'rifatullah dan Ma'rifatunnafs (1)

Ilustrasi
Foto: Wordpress.com
Ilustrasi

Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar

Ma'rifah berarti mengenal, mengetahui, dan menghayati berbagai objek ilmu pengetahuan secara rinci dan sistematis.

Ma'rifatullah berarti mengenal, mengetahui, dan menghayati secara mendalam sifat-sifat Allah SWT secara terperinci. Puncak ma'rifatullah adalah saat seseorang sudah sampai kepada kesadaran bahwa hanya Allah Sang Wujud hakiki sekaligus Sang Pelaku Mutlak.

Ma'rifatunnafs berarti mengenal, mengetahui, dan menyadari sedalam-dalamnya keadaan dirinya lebur dalam Sang Wujud hakiki dan sudah tidak merasa punya apa-apa lagi, tidak merasa memiliki perbuatan sendiri.

Selama seseorang masih merasakan keakuannya maka belum bisa disebut ma'rifatunnafs. Dengan demikian, ma'rifatunnafs sesungguhnya tidak lain adalah ma'rifatullah. Dari sinilah Rasulullah bersabda, Man 'arafa nafsahu faqad 'arafa Rabbahu (Barangsiapa yang sudah mengenal dirinya maka ia sudah mengenal Tuhannya).

Hadis tersebut menggunakan bentuk lampau (fi'il madhi/past tense) “arafa”, artinya seseorang sudah harus mengetahui dirinya jika bermaksud mengenal Tuhannya. Sulit dibayangkan seseorang bisa mengenal Tuhannya dalam tingkat ma'rifah sebelum memahami dirinya sendiri dalam tingkat ma'rifah.

Terkadang, ada di antara kita ingin belajar ma'rufatullah tanpa memulai pemahaman lebih mendalam siapa dirinya sesungguhnya (ma'rifatunnafs). Akhirnya, dia tidak akan menemukan apa-apa kecuali keputusasaan atau kerancuan dalam pemikiran.

Menurut Suhrawardi, tanda-tanda bagi seseorang yang sudah sampai kepada tingkat ma'rifah lebih tinggi adalah saat ia menyadari dirinya dalam lima keadaan, yaitu selalu merasa kehilangan oleh Sang Penyebab Kehilangan, yaitu Allah; selalu merasa beruntung oleh Sang Penyebab Keberuntungan, yaitu Allah; selalu merasa mendapatkan anugerah oleh Sang Penyebab Anugerah, yaitu Allah; selalu merasa kesumpekan oleh Sang Penyebab Kesumpekan, yaitu Allah; selalu merasa kelegaan oleh Sang Penyebab Kelegaan, yaitu Allah SWT.

Dengan demikian, orang ini sadar bahwa Sang Hakikat Wujud hanyalah Allah (tauhid a-Dzati), Sang Hakikat Pelaku Perbuatan hanya Allah semata (tauhid al-af'al), dan Sang Pemilik segala kehendak hanyalah Allah (tauhid al-shifat).

Konsep tauhid az-Zat dalam perspektif tasawuf kelihatannya lebih utuh karena tidak hanya menekankan pada perbedaan dan ketakterbandingan (tanzih/uncomparabily) Tuhan dengan makhluk-Nya, sebagaimana ditekankan para teolog atau mutakallimin, filsuf, dan para ahli fikih. Dan, para sufi juga menekankan aspek keserupaan dan keterbandingan (tasybih/comparabily).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement