Jumat 21 Feb 2014 09:38 WIB

Pengusung Dakwah di Timur Indonesia (3-habis)

 Pelabuhan Paotere, salah satu pelabuhan rakyat warisan tempo dulu yang masih bertahan dan merupakan bukti peninggalan Kerajaan Gowa-Tallo sejak abad ke-14.
Foto: Wordpress.com
Pelabuhan Paotere, salah satu pelabuhan rakyat warisan tempo dulu yang masih bertahan dan merupakan bukti peninggalan Kerajaan Gowa-Tallo sejak abad ke-14.

Oleh: Afriza Hanifa

Secara politik, dakwah Islam pun membawa kemajuan bagi Kerajaan Gowa-Tallo. Setelah menjadi kesultanan, Gowa-Tallo terus berkembang besar dan makin luas pengaruhnya.

Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto dalam Sejarah Nasional Indonesia III: Zaman Pertumbuhan dan Perkembangan Islam di Indonesia menyebutkan, J Norduyn berpendapat penaklukan oleh Gowa Tallo dirasakan sebagai harkat dan derajat agama baru, yaitu Islam mendorong keruntuhan kerajaan yang memusuhi Gowa-Tallo.

“Hal tersebut membawa kerajaan Gowa-Tallo pada kekuasaan dengan cepat dan pasti daripada sebelumnya,” tulis Marwati.

Pemerintahan Islam

Setelah Islam menjadi agama resmi, Kesultanan Gowa-Tallo pun mengubah sistem politik mereka. Sang raja, yang kedudukannya amat kuat, menjadi amirul mukminin. Sultan Alauddin-lah yang memulai kepemimpinan Islam tersebut.

Regenerasi sultan terus berlangsung menjadi amirul mukminin hingga hari keruntuhannya. Salah satu sultan Gowa-Tallo yang amat terkenal, yakni Sultan Hasanuddin, sang pahlawan nasional yang terkenal sangat keras melawan VOC.

Dalam menjalankan pemerintahan, sultan didampingi kadi (hakim) yang bertugas sebagai wakil sultan dalam urusan agama. Jabatan kadi tak hanya milik orang-orang Makassar, tapi juga Bugis dan Mandar.

Mereka yang fakih dalam beragama diberi tanggung jawab untuk menjadi kadi. Kepada kerajaan yang berhasil ditaklukkan, Kesultanan Gowa-Tallo bersikap baik sebagai saudara ketimbang sebagai penakluk.

Perjanjian persaudaraan dan persahabatan dijalin antara Gowa-Tallo dan kerajaan yang berhasil ditaklukkan. Perjanjian tersebut di antaranya menyebut bahwa barang siapa di antara kita (Gowa dan sekutunya atau daerah taklukannya) melihat suatu jalan kebajikan, maka salah satu dari mereka yang melihat itu harus menyampaikan kepada pihak lainnya.

 

Dalam perkembangan Islam pun, Gowa-Tallo menjadi pusat pengajaran Islam di Sulawesi. Bahkan, terdapat seorang ulama asal Gowa-Tallo yang kemudian berdakwah ke Banten. Marwati dan Nugroho menyebutkan, perkembangan Islam di Sulawesi Selatan mendapat tempat sebaik-baiknya.

Tak hanya itu, ajaran Sufisme Khalwatiyah dari Syekh Yusuf al-Makassari juga berkembang pada pertengahan abad ke-17. Akan tetapi, ajaran tersebut banyak berselisih dengan bangsawan Gowa.

Alhasil, syekh meninggalkan Sulawesi Selatan dan pergi ke Banten. Di sana ia diterima oleh Sultan Ageng Tirtayasa, bahkan dijadikan mantu dan diangkat sebagai mufti Kesultanan Banten.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement