Jumat 14 Feb 2014 06:35 WIB

Jalan Hidup Salikin: Mengasah Mata Batin (1)

Ilustrasi
Foto: Wordpress.com
Ilustrasi

Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar

Mata batin yang tajam hanya mungkin dimiliki oleh orang yang betul-betul mencapai tingkat kedekatan khusus dengan Allah SWT, seperti yang dialami para nabi dan para wali (auliya).

Sebagaimana halnya telinga batin (sama’), mata batin (bashirah) juga membutuhkan pengasahan supaya bisa melihat lebih tajam dan mampu melihat sesuatu yang sulit diamati oleh mata kepala. Mata batin yang lebih tajam bisa melihat dan menyaksikan hal-hal yang gaib.

Untuk mengasah mata batin, diperlukan juga berbagai latihan, seperti halnya ketika kita mengasah telinga batin. Orang-orang yang rajin melakukan mujahadah, riyadhah, muraqabah, dan berbagai bentuk pendekatan diri lainnya kepada Allah SWT, maka dapat menyingkap seluruh tabir (hijab) yang menghalangi seseorang untuk melihat dan menyaksikan sesuatu yang gaib.

Para salikin yang sudah mampu membuka tabir lalu menyingkap kegaiban maka ia sudah berada di tingkat mukasyafah, suatu prestasi spiritual yang mampu menyingkap rahasia dan alam gaib.

Menyaksikan sesuatu yang gaib sesungguhnya biasa dijelaskan dan tidak perlu kita ragu. Karena, hampir semua orang pernah mengalami mimpi. Mimpi itu sesungguhnya adalah salah satu bentuk penyaksian sesuatu yang gaib. Hanya saja mimpi kebanyakan hanya bunga-bunga tidur, seperti yang sering dialami banyak orang.

Yang dimaksud mengasah mata batin dalam hal ini bukan latihan untuk meningkatkan frekuensi kejadian mimpi, tetapi bagaimana meningkatkan tingkat kesadaran kita bisa mencapai derajat yang lebih tinggi. Dan, menyebabkan mata batin kita menjadi lebih sensitif.

Penglihatan mata batin ada persamaannya dengan mimpi, tidak bisa diidentikkan dengan mimpi biasa. Mimpi biasa (al-hilm) bisa dialami oleh semua orang tanpa dibedakan tingkat kesadaran spiritualnya.

Mata batin yang tajam hanya mungkin dimiliki oleh orang yang betul-betul mencapai tingkat kedekatan khusus dengan Allah SWT, seperti yang yang dialami para nabi dan para wali (auliya’). Nabi pernah menjelaskan hal ini dengan mengatakan, “Mimpi baik berasal dari Allah SWT dan mimpi buruk dari setan.” (HR Bukhari).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement