REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mengenai pembuatan sertifikat yang menyatakan masjid didirikan di atas tanah wakaf Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah memiliki keputusan.
Keputusan tersebut adalah hasil ijtima ulama komisi fatwa pada 2009 dan hasil ijtima ulama se-Indonesia di Pesantren Cipasung, Sukabumi pada 2012. Sekretaris Komisi Fatwa MUI Asrorun Niam Sholeh menjelaskan hasil ijtima tersebut menghasilkan kesepakatan status tanah masjid diatur secara hukum.
"Tanah yang diwakafkan untuk pendirian masjid secara hukum Islam memiliki kedudukan sebagai wakaf, meski secara formal belum memiliki sertifikat tanah," katanya, Kamis (9/1).
Dalam hukum Islam, tanah yang diwakafkan untuk masjid terikat ketetapan wakaf dalam hukum Islam. Tanah tersebut tidak boleh diwariskan atau dialih fungsi, kecuali ada hal-hal yang bersifat syar'i.
Meskipun tanpa ikrar wakaf, secara otomatis masjid yang sudah dibangun dan ada orang yang beribadah di dalamnya, maka sudah secara hukum menduduki kedudukan sebagai tanah wakaf.
Disinggung soal adanya pihak yang kemudian mengklaim masjid secara hukum formal, Niam mengatakan itu sudah masuk aspek penanganan dan penegakan hukum. Artinya, bukan lagi hukum Islam.
"Karena itu, penting untuk mengantisipasinya. Pemerintah bersama dengan Badan Wakaf Indonesia perlu proaktif. Pengurus atau takmir masjid juga jangan ogah-ogahan mengurus," ujarnya.
Takmir masjid, lanjutnya, perlu mendata status tanah dan mengurus administratif tanah. Di sisi lain, pemerintah, dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional (BPN) diharapkan memberi kemudahan.
Niam menambahkan, dua hasil ijtima ulama di atas sudah cukup mengatasi persoalan tanah wakaf. Namun, bulan ini komisi fatwa akan merumuskan fatwa yang baru, meski secara umum masih sama.