REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Dunia diguncang dengan berita heboh kemerdekaan Amerika Serikat pada 4 Juli tahun 1776. Saat itu 13 Koloni Amerika, yang sedang berperang melawan penguasa Inggris Raya, tiba-tiba mengumumkan kemerdekaan mereka.
Koloni yang sebelumnya dibentuk dari emigrasi warga Inggris puritan, setelah gagal mengganti konstitusi Inggris, English Common Law, dengan Biblical Laws, pada tahun 1642 sampai 1648 itu, kini menjadi negara baru. Pada awalnya, di benua baru itu, mereka hanya ingin mendirikan komunitas dengan perundangan sendiri yang mereka inginkan dengan nama The Plymouth Colony.
Adalah Mohammed Ben Abdellah al-Khatib, dikenal dengan sebutan Mohammed III, Raja Maroko (1757-1790) yang pertama merasa simpati dengan perjuangan bangsa baru ini.
Dua pengamat hubungan internasional Gary Clyde Hufbauer dan Claire Brunel dalam sebuah jurnal di Peterson Institute for International Economics berjudul Capitalizing on the Morocco-US Free Trade Agreement: a road map for success, menjelaskan bahwa Raja Marokolah yang pertama mengakui kemerdekaan Amerika Serikat tahun 1777.
Mohammed al-Khatib bahkan saat itu memberi bantuan militer ke pihak AS saat Presiden George Washington meminta izinnya tahun 1789 agar kapal-kapal AS boleh berlayar di sekitar Maroko.
Walaupun berperan penting dalam mendorong lahirnya sebuah negara yang kemudian menjadi adi daya dan pemain tunggal percaturan politik internasional, biografi Mohammed III tidak banyak dituliskan.
Dia merupakan putra Sultan Abdallah IV yang berkuasa di Maroko 1745 sampai 1757.
Sebelum memangku sebagai kepala negara, anggota Dinasti Alaouite ini pernah menjadi Gubernur Marrakesh tahun 1750 dan menjabat sementara sebagai Sultan tahun 1748.
Kemampuannya dalam dunia diplomasi dan hubungan internasional membuatnya dikenal sebagai pemimpin yang berpikiran terbuka dibandingkan pendahulunya.
Ia menandatangani berbagai perjanjian damai dengan negara-negara Eropa, dan membatasi kekuasaan para perompak, bajak laut Barbary.
Visi ekonominya mendorong negara untuk menghidupkan kembali kota maritim Essaouira dan mengundang investor, pedagang dan pelaku usaha Yahudi dan Inggris untuk menanamkan modalnya di sana.
Dalam proyek revitalisasi kota tua Casablanca (Derb Tazi) dan renovasi Kasbah Marrakesh, raja keturunan Nabi SAW ini menggunakan banyak teknisi dan arsitek Eropa seperti Théodore Cornut dan muallaf Inggris Ahmed el Inglizi.
Mungkin karena itu, dalam pertemuan Raja Maroko dengan Presiden AS Barack Obama baru-baru ini, seorang penulis di Middle East Voices di VOANews, Kamis (22/11), Vish Sakthivel mengatakan, sudah saatnya AS dan Maroko me-reset kembali hubungan bilateral mereka ke arah yang lebih baik, mengingat eratnya pertalian sejarah antar keduanya.
"Administrasi [AS] harus bekerja di luar kepentingan seremonial dalam momen kunjungan Raja Maroko, sebuah kunjungan yang pertama ke Washington sejak tahun 2004," katanya.
"[AS] harus menggarisbawahi dengan substantif komitmen Amerika untuk kemitraan yang kuat dengan negara Afrika Utara yang mengejutkan cukup tangguh itu."