Rabu 28 Aug 2013 01:09 WIB

‘Kalau Keburu Mati, Bagaimana Haji Saya?’

 Kabah di Masjidil Haram Makkah, Arab Saudi, Selasa (23/10).  (Hassan Ammar/AP)
Kabah di Masjidil Haram Makkah, Arab Saudi, Selasa (23/10). (Hassan Ammar/AP)

REPUBLIKA.CO.ID, Laki-laki itu berhenti sejenak dan memandangi brosur yang tertata rapi di meja dan rak. Matanya tampak menelusuri huruf demi huruf di atas brosur itu sebelum akhirnya dia memutuskan untuk mengambil sebuah brosur yang berisi panduan untuk mereka yang ingin mendaftar menjadi haji reguler.

Pria dengan baju koko putih dan rambut yang seluruhnya berwarna senada dengan bajunya itu tampak mengerutkan kening yang membuat semua wajahnya pun turut mengerut  sempurna. Menandakan usianya yang senja.

Ketika akhirnya seorang petugas pameran mendekat, berceritalah si pria tua ini. Dia sudah mendaftar untuk menunaikan ibadah haji  sejak 2011 lalu. Namun, dia baru dijanjikan akan menginjakkan kaki di Tanah Suci sekitar delapan tahun ke depan. Pensiunan guru berusia sekitar 70 tahun itu menampakkan raut muka cemasnya dan berujar lirih, ‘’Bagaimana kalau saya keburu mati, Bu?’’

Curahan hati yang sama juga terdengar dari pria lanjut usia berusia 84 tahun.  Berlama-lama berdiri di depan booth pameran haji yang berlangsung bersamaan dengan ajang Seleksi Tilawatil Quran (STQ) di Bangka Belitung beberapa waktu lalu, dia bertutur tentang rindunya memandang Kabah secara langsung.

Demi mewujudkan mimpi itu, dia menabung rupiah yang didapatnya sejak usia muda. ‘’Saya menabung selama 25 tahun untuk naik haji,’’ ujarnya.  Ketika akhirnya tabungannya cukup untuk membawanya bersimpuh di Baitullah, dia justru tidak punya keberanian mendaftarkan diri. ‘’Umur saya sudah segini, belum lagi saya harus menunggu mungkin sampai belasan tahun untuk berangkat. Apa saya masih bisa berhaji?’’

Pemotongan kuota haji akibat adanya pembangunan besar-besaran di kompleks Masjidil Haram tak ayal  menyebabkan masa tunggu para calon haji menjadi amat panjang. Mereka yang telah mendaftar pun harus rela menunggu lebih lama lagi untuk bisa menjejakkan kaki  di Tanah Suci.

Harapan itu sebenarnya terus ada. Hanya, semua mesti tertunda sejenak. Para orangtua itu baru bisa sedikit tersenyum ketika dikatakan bahwa sebenarnya mereka telah berhaji ketika telah mendaftarkan diri. Meski pada akhirnya lantaran takdir ternyata mereka tidak berhasil menjejakkan kakinya di sana.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement