Senin 27 May 2013 12:10 WIB

Syaban dan Kiblat

 Kabah di Masjidil Haram Makkah, Arab Saudi, Selasa (23/10).  (Hassan Ammar/AP)
Kabah di Masjidil Haram Makkah, Arab Saudi, Selasa (23/10). (Hassan Ammar/AP)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Dr Muhammad Hariyadi MA

"Seandainya Allah SWT tidak merubah kiblat kaum muslimin dari Bait Al-Maqdis ke Ka'bah pada bulan Rajab tahun ke-2 Hijriyah, maka dapat dibayangkan betapa kerasnya konflik keagamaan antara kaum Muslim-Yahudi-Nasrani pada saat ini."

Bait Al-Maqdiq adalah simbol kiblat tiga agama samawi (Yahudi, Nasrani dan Islam), karena ketiganya memiliki akar sejarah keagamaan dengan tempat mulia tersebut. Namun kesucian tempat tersebut seharusnya diikuti dengan tetap suci dan aslinya tiga ajaran agama samawi, sehingga dua ajaran yang pertama mengukuhkan satu ajaran yang terakhir. Namun kenyataan yang terjadi justru sebaliknya.

Maka Allah SWT meridhai kecondongan hati Rasulnya yang menginginkan perubahan kiblat dari Bait Al-Maqdis dan telah berjalan sekitar enam belas bulan menuju ke Bait Allah Al-Haram Makkah Al-Mukarramah. Allah SWT berfirman: "Kami melihat wajahmu (Muhammad) sering menengadah ke langit, maka akan Kami palingkan engkau ke kiblat yang engkau senangi." (QS. Al-Baqarah: 144).

Kaum muslimin yang menjadi subyek perubahan tersebut menerima perintah perubahan kiblat dengan positif thinking dan ihlas, bukan karena melihat eksistensi perubahannya melainkan siapa yang memerintahkannya. Sebab sudah merupakan sikap kaum muslimin untuk tunduk kepada perintah Allah SWT sebagaimana ketundukan ruh dan jasadnya. Allah SWT mengabadikan sikap tersebut dalam berfirman: "Kami beriman kepadanya, semuanya dari sisi Tuhan kami." (QS. Ali Imran: 7).

Sementara orang-orang munafik, menanggapi perubahan kiblat tersebut dengan negative thinking dan itulah reperesentasi sikap hidup mereka secara keseluruhan yang menunjukkan kekacauan kondisi psikologisnya karena posisi mereka "tidak termasuk dalam golongan ini (orang yang beriman) dan golongan itu (orang kafir)" (QS. An-Nisa: 144). Mereka dengan nada aneh antara lain menyatakan: "Muhammad bingun hendak menghadap ke mana? Seandainya yang pertama benar, lalu mengapa ia meninggalkannya? Seandainya yang kedua benar, berarti selama ini ia berada dalam kebatilan."

Adapun orang-orang Yahudi yang karekter dan sifat umumnya memang menentang apapun perintah Allah SWT dan Rasul-Nya serta mengingkari semua kenikmatan yang diberikan-Nya, bersikap sinis dan pertentangan nyata atas perubahan kiblat tersebut. Mereka mengatakan: "Muhammad telah mengingkari kiblatnya para nabi terdahulu. Seandainya ia benar-benar seorang nabi, pastilah ia akan menghadap kiblat para nabi terdahulu."

Apapun reaksi mereka, sesugguhnya reaksi tersebut tidak memiliki makna yang cukup berarti karena perubahan arah kiblat merupakan kehendak Allah SWT yang mengandung berbagai sebab dan hikmah, diantaranya:

Pertama, Penyatuan seluruh syiar keagamaan kaum muslimin di Makkah dan penegasan pada pengembalian Ka'bah sebagai tempat ibadah pertama manusia di bumi.

Kedua, penegasan antara Bait Al-Maqdis dan Bait Al-Baram sebagai dua saudara kandung, karenanya Bait Al-Maqdis tetap dimuliakan dalam Islam dan tidak dapat dihilangkan oleh alasan apapun.

Ketiga, sebagai ujian keimanan kaum muslimin kala itu hingga saat ini untuk menentukan siapa yang kuat imannya sehingga tunduk pada perintah Allah dan siapa yang lemah imannya, sehingga kembali dalam kekafirannya. Wallahu A'lam.

Penulis dosen pasca sarjana PTIQ Jakarta

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement