REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Afriza Hanifa
Pada masa Rasulullah, kelompok terorisme khawarij bukanlah orang-orang yang tak beragama, tak beriman, dan tak beribadah. Mereka amat giat dalam beribadah dan membaca Alquran. Hanya saja, jauhnya mereka dari ulama membuatnya tak memahami kandungan Kitabullah dengan benar, terutama tentang jihad memerangi orang kafir.
Mereka tak membedakan makna “Jihad” dengan “Irhab”. Padahal, keduanya memiliki makna berbeda. Dalam bahasa Arab, jihad berasal dari kata jahada-yajhadu-juhdan-jihad yang secara harfiah bermakna bersungguh-sungguh, berjuang, mengerahkan tenaga. Adapun Irhab merupakan bentuk mashdar dari arhaba-yurhibu yang berarti menakuti orang lain. Dalam terjemahan modern, irhab diterjemahkan sebagai terorisme.
Dzulqarnain bin Muhammad Sanusi dalam Meraih Kemuliaan Melalui Jihad, Bukan Kenistaan mengatakan, Ibnu Hajar mendefinisikan jihad secara istilah atau terminolagi sebagai “mencurahkan segala kemampuan dalam memerangi orang-orang kafir”.
Dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, kata Dzulqarnain, disebutkan kesimpulan para ahli fikih dari berbagai mazhab bahwa jihad secara istilah adalah Muslim memerangi kafir yang tidak dalam perjanjian damai setelah didakwahi dan diajak kepada Islam, guna meninggikan kalimat Allah.
Adapun secara syar’i, jihad mempunyai cakupan umum, meliputi empat perkara, yakni jihadun nafs (jihad dalam memperbaiki diri sendiri), jihadusy syaithon (jihad melawan setan), jihadul kuffar wal munafiqin (jihad melawan orang-orang kafir dan kaum munafkin), serta jihad arbabuzh zholmi wal bida’ wal munkarat (jihad menghadapi orang-orang zalim, ahli bid’ah, dan pelaku kemungkaran).
***
Menurut Dzulqarnain, Al Irhab yang terlarang adalah apa yang dikerjakan oleh pelaku dengan cara mendatangi orang-orang yang dalam keadaan aman, tenteram, dan damai yang tidak mempunyai urusan dengan masalah kekuatan, peperangan dan kezaliman. Lalu, disergap secara tiba-tiba dengan pembunuhan, perusakan harta benda, menimbulkan berbagai macam ketakutan atau kekhawatiran, baik dari kalangan orang kafir atau dari kalangan kaum Muslimin.
Yusuf Qardhawi dalam Fiqih Jihad menuturkan, irhab bermakna menyebarkan ketakutan di tengah manusia dan menyebabkan mereka kehilangan rasa aman yang merupakan nikmat Allah terbesar kepada makhluk-Nya. Hal tersebut seperti tercantum dalam surah Quraisy ayat 3-4. Namun/ menurut Qardhawi, konsep irhab yang populer sekarang amat berbeda.
Dari makna keduanya jelas berbeda antara jihad dan irhab. Namun, para kelompok ekstremis teroris memaknai irhab (teror) sebagai bagian dari jihad. Alhasil, mereka menganggap seluruh kafir harus dihabisi. Padahal, dalam rincian fikih jihad, terdapat empat pembagian kafir. Dari empat pembagian tersebut, hanya satu kafir yang boleh diperangi, yakni orang kafir yang memerangi Muslimin. Jelas di sini bahwa korban aksi pengeboman di Boston AS, WTC, Bali, Jakarta, dan di tempat lain di penjuru dunia bukanlah orang-orang kafir yang memerangi Muslimin. Mereka hanyalah warga sipil, bahkan tak sedikit Muslimin yang ikut menjadi korban.
***
Pembagian empat jenis kafir itu, yakni kafir dzimmi. Kafir ini adalah kafir yang membayar jizyah tiap tahun sebagai izin tinggal mereka di negeri Muslimin. Kafir dzimmi sangat dilarang untuk dibunuh.
Lalu, kafir mu’ahad, yaitu orang-orang kafir yang menjalin kesepakatan atau perjanjian dengan umat Islam untuk tidak berperang. Selama kesepakatan dibuat, mereka pun haram diperangi. Kafir musta’man, yakni kaum non-Muslim yang mendapat jaminan keamanan dari Muslimin atau sebagian Muslimin. Jenis ini pun tak boleh diperangi selama mereka berada di dalam jaminan keamanan.
Terakhir, kafir harby yang boleh diperangi karena merupakan orang-orang kafir yang memerangi Muslimin. Namun, dalam memerangi Harby pun terdapat banyak aturan Islam yang harus dipenuhi. Tidak kemudian serta-merta orang atau kelompok tertentu mendapat legitimasi untuk memerangi mereka.
Dari sini, telah terang bagaimana Islam memandang terorisme. Aksi brutal teroris bukanlah bagian dari Islam. Syariat Islam tak pernah mengajarkan kekerasan, justru sebaliknya Islam merupakan agama penyeru kedamaian.
Dzulqarnain menuturkan, syariat Islam benar-benar mengutuk dan sangat mencela perbuatan kerusakan di muka bumi. Sehingga, dijelaskanlah dalam ajarannya berbagai jenis perbuatan kerusakan yang berseberangan dengan nilai-nilai Islam yang mulia dan luhur. Di antara bentuk kerusakan itu adalah menumpahkan darah yang terjaga dan terlindungi dari kalangan Muslimin maupun kafir yang haram untuk dibunuh.
***
“Sungguh syariat Islam telah mengumpulkan seluruh jenis kebaikan. Islam menjaga syariat dan tuntunan, melindungi dan memelihara akal-akal manusia, menyucikan harta benda, memberi keamanan kepada jiwa-jiwa manusia, dan menebarkan segala bentuk keselamatan, ketenangan, rahmat dan kesejahteraan,” ujarnya.
Lebih jelas bagaimana pandangan Islam terhadap terorisme, tercantum pada banyak fatwa ulama tentang haramnya terorisme. Di tingkat internasional, lembaga fikih internasional Al Majma Al Fiqh Al Islamy mengeluarkan fatwa larangan terorisme.
Fatwa tersebut mengatakan, “Terorisme adalah suatu permusuhan yang ditekuni oleh individu-individu, kemompok-kelompok, atau negara-negara dengan penuh kesewenang-wenangan terhadap manusia, agama, darah, akal, harta dan kehormatannya. Terorisme mencakup berbagai bentuk permunculan rasa takut, gangguan, ancaman, dan pembunuhan tanpa haq serta apa yang berkaitan dengan bentuk-bentuk permusuhan, membuat ketakutan di jalan-jalan, membajak di jalan, dan segala perbuatan kekerasan dan ancaman.”