REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Susie Evidia Y
Hidup di dunia memang butuh seorang guru dan pembimbing. Keberadan mereka laksana lentera yang memendarkan cahaya di kegelapan malam. Tak sembarang lampu bisa bersinar terang. Demikian pula memilih para pembina spiritual. Soal agama, seorang murid dituntut lebih jeli. Tak sekadar bermodal decak kagum dengan kekuatan supranaturalnya.
Direktur Pusat Kajiah Hadis Jakarta Dr Ahmad Lutfi Fathullah memberikan kiat dalam memilih seorang guru ataupun penasihat spiritual. Paling mendasar, menurutnya, perhatikan akidah dan praktik keagamaan dia sehari-hari.
Sudahkah sesuai dengan Alquran dan hadis. Adakah ajaran-ajarannya mengajak kepada kemusyrikan dan kekufuran. Jika terbukti positif menyimpanng, segera tinggalkan. “Tak ada ketaatan terhadap makhluk untuk bermaksiat,” tegasnya.
Dari segi kasat mata, tuturnya, perhatikan dengan seksama tipologi keluarga “sang guru” tersebut, saleh atau tidaknya. Demikian pula, bisa mengecek rumahnya, apakah terdapat minuman keras ataupun benda-benda yang tidak sesuai dengan syariat. Tak kalah penting tentunya, cermati shalat lima waktunya.
Sikap jeli dan cerdas dari umat, kata dosen ilmu hadis di sejumlah perguruan tinggi Islam itu sangat penting. Ini menyusul maraknya kerancuan antara yang benar-benar guru dan guru jadi-jadian. Ada yang tukang jahit “memiliki ilmu” dipilih sebagai guru spiritual. Ada juga tanpa melalui proses belajar atau belajar instan sudah dianggap sebagai guru spiritual.
Menurut alumnus program doktoral Universitas Kebangsaan Malaysia ini, guru yang patut diikuti ialah guru dengan tingkat kesalehan yang mumpuni. Artinya, memiliki kapasitas keilmuan dan praktik yang seimbang. Perilakunya pun sesuai dengan tuntunan syariat. “Jika tidak berilmu, apanya yang harus diikuti,” ujar penyabet gelar Lc dari Universitas Damaskus Suriah itu.
Direktur Pusat Pendidikan Quran Rumah Tajwid, Depok, Jawa Barat, Ustaz Hartanto Saryono Lc menekankan pula tentang pentingnya akidah dan amaliah seorang guru. Tak semua orang yang bergamis, berpeci, lalu menampakkan kesalehan, padahal faktanya jauh dari kesan yang ditampakkan, layak dianggap sebagai pembimbing spiritual.
Ia menyebutkan, tolok ukur yang digunakan adalah Alquran dan hadis, serta praktik generasi salaf. Jangan sampai terlena dengan berbagai tipu muslihat. Apalagi, sebagai pengikut, tak boleh taklid buta. Segera takar tuntunan dan nasihat “sang guru” tersebut dengan sumber-sumber utama Islam. “Kita harus kritis,” ujar alumnus Universitas Al-Iman, Sanaa, Yaman, ini.
Jika dikorelasikan dengan praktik paranormal dan dukun saat ini, ujarnya, aktivitas mereka bisa menyesatkan. Apa yang dilakukan oleh kebanyakan paranormal menyimpang dari ajaran Islam dan berbau mistis karena pengaruh jin. Sumber “keilmuan” mereka pun tak jelas,seperti ritual pertapaan atau semedi di lokasi tertentu. Dunia gaib menjadi rujukan mereka. “Kita harus peka membaca gelagat menyimpang seperti ini,” tegasnya.
Menurut Hartanto, ada kalanya paranormal itu melakukan shalat dan rajin puasa. Tapi, tata cara ibadah yang mereka laksanakan tidak sesuai yang dicontohkan Rasulullah SAW. Mereka mengutamakan sesuatu yang kecil dengan mengabaikan yang wajib. Begitulah cara jin mengelabui agar manusia lalai melakukan ibadah wajib (seperti shalat wajib) yang diperintahkan Allah.