Rabu 20 Mar 2013 14:24 WIB

Gelora Islam di Haiti (3)

Susana Haiti
Foto: ap
Susana Haiti

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Afriza Hanifa

Meningkat pascagempa

Pada tanggal 12 Januari 2010, Haiti diguncang gempa dahsyat sebesar 7,0 skala richter hingga merenggut banyak nyawa dan meninggalkan kerugian yang besar. Tercatat 300 ribu warga tewas dan kerugian infrastruktur mencapai 14 miliar dolar AS akibat gempa terkuat di Karibia sepanjang dua abad tersebut.

Negara Haiti yang memang miskin pun makin terpuruk, ditambah lagi duka yang terus saja merundung warga. Saat itulah, para relawan Muslim yang dikomando "Islam Relief" hadir menyelamatkan Haiti.

Tiga tahun lalu, Haiti menjadi negara yang porak-poranda. Reruntuhan bangunan dan mayat bergelantungan di mana-mana. Segala fasilitas umum hancur tinggal puing. Rakyat Haiti berada dalam penampungan, berputus asa, menerima nasib untuk hidup enggan namun mati pun sungkan.

Para relawan Muslim kemudian membangkitkan semangat mereka, memberikan bantuan darurat dan membangun kembali kehidupan Haiti yang mati. "Itu adalah bencana alam terbesar yang memukul kota dalam sejarah modern, dan gempa paling kuat di negara Karibia," tulis web resmi Islam Relief yang hingga kini bahkan masih mengumpulkan donasi untuk membangun kembali Haiti.

Namun musibah tersebut membawa hikmah bagi rakyat Haiti. AP mengabarkan, jumlah Muslimin meningkat tajam pascaperistiwa mengerikan tersebut. Ibu Kota Haiti, Port Au Prince, yang merupakan kota mayoritas kristen kini dipenuhi para pria berkopyah dan wanita berjilbab.

Jalanan ibu kota yang biasanya dipenuhi alunan lagu rohani gereja saat ini dipenuhi azan dengan keberadaan lima masjid di kota tersebut. Selain itu, terdapat anggota parlemen di kursi dewan yang mewakili Muslimin. Televisi lokal pun bebas menyiarkan program Agama Islam.

"Setelah gempa terjadi, banyak orang yang masuk Islam dan bergabung bersama kami. Kami terorganisir. Kami memiliki ruang di masjid untuk menerima orang dan menyediakan makanan untuk mereka," kata imam sekaligus pemimpin Muslim di Port Au Prince, Robert Dupuy, dikutip AP.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement