REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhbib Abdul Wahab
"Seandainya Kami turunkan Alquran ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah karena takut kepada Allah. Berbagai perumpamaan itu Kami buat untuk manusia agar mereka berpikir." (QS. al-Hasyr [59]: 21).
Alkisah, sebelum masuk Islam, Umar bin al-Khattab terkenal sebagai pemberani sekaligus keras kepala, dan sangat anti-Islam. Hidayah Allah itu datang menghampiri hatinya melalui sebuah prosesi spiritual yang mengharukan.
Ketika Umar bin al Khattab bertekad membunuh Nabi saw di tengah perjalanan dia transit di rumah adiknya, Fatimah binti al-Khattab. Saat berada di depan pintu rumah adiknya, dia mendengar lantunan ayat-ayat suci Alquran yang sangat puitis.
Setelah mendengar lantunan ayat: “Thaha. Kami tidak menurunkan Alquran ini kepadamu agar kamu menjadi susah (sengsara dan menderita), tetapi sebagai peringatan bagi orang-orang yang takut (kepada Allah), yaitu diturunkan dari Allah yang menciptakan bumi dan langit yang tinggi (QS. Thaha/20: 1-4).
Hati ‘Umar bin Al-Khattâb yang keras bagai batu gunung pun luluh, lalu menemui Nabi saw bukan untuk membunuhnya, melainkan masuk Islam.
Alquran merupakan 'hidangan spesial' Allah SWT (ma’dubatullah) bagi hamba-Nya. Hidangan kemuliaan ini tentu harus dinikmati dan dimaknai. Memaknai Alquran identik dengan membaca, memahami, menghayati, mengapresiasi, menerjemahkan, dan mengamalkan pesan-pesan moral dan spiritualnya dalam kehidupan.
Dengan begitu, Alquran sebagai petunjuk (huda) kehidupan manusia dapat berfungsi. Hanya saja, menikmati dan memaknai 'hidangan Ilahi' memerlukan kerendahan hati dan keterbukaan diri agar dapat memancarkan cahaya (nur), menjadi obat, (syifa’), dan rahmat bagi semua.
Imam al-Ghazali memberikan sepuluh amalan spiritual untuk menikmati hidangan Ilahi tersebut. Pertama, memahami keagungan firman Allah dan diyakini sebagai bacaan paling mulia yang menunjukkan keagungan dan ketinggian-Nya.
Kedua, mengagungkan Dzat yang berfirman, Allah. Ini dilakukan dengan selalu membaca ta’awwudz dan basmalah serta menghadirkan keagungannya itu dalam hatinya sebelum membacanya.
Ketiga, kehadiran hati (khusyû’) dan menjauhkan diri dari bisikan jiwa yang dapat merusak konsentrasi saat menikmati jamuan itu. Keempat, merenungi (tadabbur) kedalaman, keindahan, dan kesesuaian pesannya bagi kehidupan.
Kelima, berusaha memahami (tafahhum) jamuan ayat-ayat-Nya, sehingga merasa terkesan dan penasaran untuk selalu membaca dan membacanya.
Keenam, menghindari hambatan-hambatan pemahaman selama menikmati jamuan, karena ketika hati lengah, godaan setan pasti datang untuk mengalihkan perhatian. Ketujuh, menyadari sasaran pesan moral jamuan (takhshîsh). Sang penikmat jamuan itulah yang dituju oleh pesan moralnya.
Kedelapan, berusaha menghayati dan menerima pesan (ta’atssur) dari jamuan itu, agar sang penikmat berusaha mengamalkan pesannya.
Kesembilan, meningkatkan penghayatan (taraqqî) terhadap makna jamuan, agar hati menjadi khusyu’, ucapan terjaga, sikap bijaksana, pikiran positif, dan amalan selalu istiqâmah.
Kesepuluh, melepaskan diri dari segala daya dan kekuatan (tabarrî) selain Allah dengan penuh keridhaan hati dan dengan selalu menyucikan diri dari dosa dan maksiat kepada Allah.
Alangkah nikmat hidangan Ilahi itu, jika kita semua selalu mengamalkan sabda Nabi saw: “Sebaik-baik kalian adalah orang yang mau mempelajari Alquran dan mengajarkannya kepada orang lain.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Rumah yang selalu menikmati hidangan Ilahi adalah rumah yang penghuninya selalu shalat berjamaah dan membaca Alquran.
Gerakan 'Maghrib mengaji' (maksudnya selepas shalat Maghrib membaca Alquran) perlu diapresiasi dan didukung. Sebab, godaan tontonan melalui TV dan lainnya di waktu Maghrib hingga Isya’ seringkali meninabobokan anak-anak kita.
Marilah kita semua membudayakan hidup sehat dan “nikmat spiritual” dengan menikmati hidangan Allah yang superlezat itu. Wallahu a’lam.