Rabu 19 Dec 2012 20:16 WIB

Dinar untuk Filantropi

Rep: Erdi Nasrul/ Red: Chairul Akhmad
Transaksi menggunakan dinar dan dirham (ilustrasi).
Foto: Republika/Agung Supri
Transaksi menggunakan dinar dan dirham (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Langgar Agung Kesultanan Kasepuhan Cirebon pada akhir Oktober lalu penuh sesak. 

Dalam kegiatan yang sekaligus peringatan ke-459 Haul Sunan Gunung Jati itu, sebanyak 200 mustahik mengantre zakat.

Bukan uang atau sembako yang mereka terima, tetapi kepingan perak berupa dirham dengan nama Sultan Sepuh XIV.

Mereka masing-masing menerima ½ dirham. Ini sekaligus sosialiasi dan edukasi kepada masyarakat tentang dinar dan dirham (dnd).

Pembagian zakat dalam dirham perak ini bukanlah pertama kali dilakukan di Cirebon. Sejak dua tahun terakhir, pembagiannya telah berlangsung sebanyak enam kali. Termasuk, yang dilakukan Kesultanan Kasepuhan pada 2011.

Pada kesempatan yang sama, para pedagang yang akan berjualan di sana juga bertransaksi menggunakan uang dinar dan dirham.

Sultan Kasepuhan ke-14 Cirebon, Pangeran Raja Adipati Arief Natadiningrat menyatakan, penerapan dnd merupakan pelaksanaan perintah Allah SWT dan Rasul-Nya. Ini di samping kelebihan yang ada pada kedua jenis alat transaksi itu. “Dinar dirham memiliki nilai yang kuat dibandingkan mata uang kertas manapun di dunia,” ujarnya.

Karenanya, ia merestui penandatanganan kesepakatan antara Jaringan Wirausaha Dinar Dirham Nusantara (JAWARA) dan  Islamic Centre Cirebon terkait sosialisasi dnd sebagai alat tukar mata uang di lingkungan Kasepuhan Cirebon. Kesepakatan itu terlaksana di Masjid Agung Sang Cipta Rasa, Keraton Kasepuhan.

Kesepakatan berupa pengadaan dan penyelenggaraan stan serta menggelar pasar dnd tiap pekan awal dan ketiga tiap bulan.

Pasar dnd pada pekan pertama dan ketiga tiap bulannya tak sebesar yang digelar pada saat Haul Sunan Gunung Jati. Dengan kesiapan dan rida sang sultan, kegiatan sosialisasi penggunaan dinar dirham sebagai alat tukar akan semakin terwujud.

Arief menyatakan, dinar dan dirham nantinya akan dimanfaatkan untuk taringan atau honor bagi sekitar seratus abdi Keraton Kasepuhan Cirebon. “Kita perbanyak dulu jumlah dnd. Baru kemudian akan kita manfaatkan untuk taringan,” jelasnya.

Sunan Gunung Jati juga memanfaatkan dnd sebagai alat bertransaksi. Penggunaan dnd di Cirebon bukan hal yang baru. Bermula abad ke-15, Putra Prabu Siliwangi Pangeran Cakrabuana dan ibunda Sunan Gunung Jati Syarifah Mudain melangsungkan ibadah haji ke Tanah Suci..

Selesai berhaji, keduanya kembali ke Tanah Air. Mereka membawa dnd. Dua jenis mata uang itu kemudian diperbanyak dan digunakan sebagai alat tukar di Cirebon.

Sunan Gunung Jati juga memanfaatkan dnd sebagai alat bertransaksi. “Karena, memang hanya dua mata uang itu yang dimanfaatkan,” kata Sultan Kasepuhan ke-14 Cirebon, Pangeran Raja Adipati Arief Natadiningrat.

Ia menyadari penggunaan dnd semakin berkurang. Bahkan, nyaris menghilang saat uang kertas dan logam diberlakukan. Baik saat Indonesia baru merdeka atau bahkan sebelumnya, ketika dijajah Belanda dan Jepang.

Kedua jenis uang itu pun rawan inflasi.  Sedangkan, penggunaan dinar dirham tidak terpengaruh akan hal itu. Penggunaan dnd di Cirebon digalakkan kembali semenjak Sultan Sepuh ke-13 Maulana Pakuningrat memimpin Cirebon. Arief pun kini meneruskan apa yang diperjuangkan ayahnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement