REPUBLIKA.CO.ID, Pada 1929 terjadi pembaruan revolusioner memasukkan pelajaran umum ke dalam struktur kurikulum pengajaran.
Perubahan ini menimbulkan reaksi para wali santri serta protes para ulama dari pesantren lain. Alasannya, pelajaran umum saat itu dianggap sebagai kemungkaran, budaya Belanda.
Akibatnya, wali santri memilih memindahkan putranya ke pondok lain. Namun, madrasah ini berjalan terus karena Tebuireng beranggapan bahwa ilmu umum akan sangat diperlukan bagi para lulusan pesantren.
Gebrakan ini diikuti langkah-langkah pembaruan berikutnya. Pada 1933 didirikan madrasah nidhomiyah (setingkat madrasah tsanawiyah). Dua puluh tahun kemudian, madrasah ini berubah menjadi Madrasah Tsanawiyah Salafiyah Syafi’iyah. Disusul mendirikan Madrasah Aliyah Salafiyah Syafi’iyah pada 1962.
Pada masa kepemimpinan KH Yusuf Hasyim didirikan SMP dan SMA yang merujuk kurikulum Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kedua jenjang pendidikan umum tersebut didirikan pada 1975.
Pada 2006, Pak Ud melontarkan gagasan perlunya mendirikan Ma’had Aly (jenjang pendidikan keagamaan setingkat S-1) di Tebuireng. Gagasan tersebut dilatarbelakangi oleh semakin menurunnya penguasaan kitab kuning di kalangan santri.
Sejak akhir Juni 2006, Ponpes Tebuireng dipimpin KH Salahuddin Wahid. Gebrakan yang dilakukan Gus Sholah mewujudkan gagasan Pak Ud dengan mendirikan Ma’had Aly. Jumlah santrinya 30 orang dengan biaya gratis.
Harapannya agar alumni Ma’had Aly dapat menguasai dan meningkatkan kembali kemampuan membaca kitab kuning. Selain itu, pengajian kitab dengan metode sorogan juga akan diintensifkan kembali secara takhassus.
Di bawah kepemimpinan Gus Sholah yang lulusan ITB ini, Tebuireng terus berbenah, baik di bidang kurikulum maupun manajemen pendidikan, serta meningkatkan akuntabilitas pesantren.