Sabtu 27 Oct 2012 22:25 WIB

Embarkasi Haji di Masa Kolonial (4-habis)

Rep: Fitria Andayani/ Red: Chairul Akhmad
Rumah dokter yang ditugaskan memeriksa kesehatan jamaah haji pada masa kolonial di Pulau Onrust, saat ini telah dijadikan museum.
Foto: Republika/Aditya Pradana Putra
Rumah dokter yang ditugaskan memeriksa kesehatan jamaah haji pada masa kolonial di Pulau Onrust, saat ini telah dijadikan museum.

REPUBLIKA.CO.ID, Hingga saat ini sisa-sisa bangunan karantina haji masih ada, walau tidak utuh lagi.

Jangan bayangkan, bangunan itu merupakan sebuah tempat yang layak dihuni oleh orang-orang yang hendak atau telah berhaji.

Sebagian kalangan bahkan menyebut, bangunan itu sangat mirip dengan penjara atau kamp konsentrasi.

Selain di Pulau Onrust, barak-barak karantina juga terdapat di Pulau Cipir. Namun, pusatnya tetap di  Pulau Onrust.

Pindah ke Tanjung Priok

Ketidaknyamanan jamaah haji dari Hindia Belanda yang harus menjalani masa karantina di Pulau Onrust akhirnya berujung juga.

Hal itu bermula ketika pada 1912 Perserikatan Muhammadiyah yang didirikan oleh KH Ahmad Dahlan mendirikan Bagian Penolong Haji. Lembaga yang diketuai oleh KH M Sudjak inilah yang kemudian mengilhami adanya Direktorat Urusan Haji.

Pada 1922, Volksraad mengadakan perubahan dalam Ordinasi Haji yang dikenal dengan Pilgrim Ordinasi 1922. Aturan tersebut menyebutkan bahwa bangsa pribumi dapat mengusahakan pengangkutan calon haji.

Empat tahun kemudian, tepatnya pada 1926, komite para ulama Islam berkumpul di Surabaya untuk mengirim sebuah delegasi ke Arab Saudi untuk memprotes syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh para jamaah haji Hindia Belanda. Komite inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya Nahdlatul Ulama.

Langkah-langkah itu ternyata berbuah manis. Pada 1933, kegiatan embarkasi dan karantina haji di Pulau Onrust dihentikan. Pelabuhan Tanjung Priok yang baru dibangun kemudian difungsikan sebagai tempat pengganti.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement