Selasa 16 Oct 2012 21:35 WIB

Muslim Rohingya di Tanah Suci

Abdullah Hassan Ali Ahmad, seorang pria keturunan Muslim Rohingya sedang menunggu kiosnya di Syisyah, Makkah.
Foto: Heri Ruslan/Republika
Abdullah Hassan Ali Ahmad, seorang pria keturunan Muslim Rohingya sedang menunggu kiosnya di Syisyah, Makkah.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh:  Heri Ruslan

Musim haji menjadi berkah bagi Muhammad Jamil. Pria berbadan kurus dan berhidung mancung itu bisa mengais riyal dengan berjualan aneka oleh-oleh khas haji.

Ia berjualan di sekitar pemondokan jamaah haji Pakistan di wilayah Syisyah, berjarak lima kilometer dari Masjidil Haram. Siang itu, saya menyambangi kios yang dijaganya.  Jamil segera menyambut saya dengan bahasa Indonesia patah-patah.

“Ayo…. Murah… murah. Semua bagus,” ajak pria berusia 20 tahun itu menawarkan dagangannya.

“Anda dari mana?” tanya saya. Jamil mengaku berasal dari Burma alias Myanmar.

“Muslim Rohingya?” tanya saya lagi. Sambil mengangguk, Jamil membenarkan berasal dari Arakan, Rohingya.

“Saya lahir di Makkah. Orang tua saya berasal dari Burma,” kata dia. Menurut dia, kedua orang tuanya telah tinggal di Tanah Suci, Makkah, sejak 25 tahun lalu.

Jamil mengatakan, ayahnya melarikan diri dari Arakan menuju Bangladesh. Setelah itu, hijrah ke India. Tak lama kemudian, sang ayah pindah ke Pakistan. “Di Pakistan, ayah bertemu ibu dan menikah,” tuturnya.

Setelah menikah, keduanya lalu hijrah ke Arab Saudi. Di negeri inilah Jamil lahir dan tumbuh. Sehari-hari pekerjaannya berdagang.

Pria itu begitu ramah dan pemurah. Belum juga saya belanja, ia sudah menghadiahkan sekotak susu segar berukuran 500 ml. “Halal… halal….” ucapnya sambil membukakan kotak susu buatan Arab Saudi itu.

Ia mempersilakan saya duduk di kursi. Jamil lalu melayani para pembeli. Kemudian, dia kembali menghampiri. Ia menyerahkan earphone yang menempel di telinganya.

“Ini musik India….” kata Jamil sambil menyerahkan telepon selulernya bermerek Nokia. Ia begitu senang saya mendengarkan musik dari telepon genggamnya.

Jamil pandai menarik hati pembeli. Ia suka membagi-bagikan hadiah. Gelang-gelang diberikannya kepada sejumlah pembeli. “Halal… halal….” katanya. Setelah mendapat sekotak susu segar, ia juga memberi saya parfum dalam kotak kecil.

Pria berkulit gelap itu mengaku senang dengan orang Indonesia karena sangat royal dalam berbelanja. “Indonesia bagus… Malaysia bakhil,” kata dia sambil tertawa. Ia berterima kasih karena Muslim Indonesia telah banyak membantu saudaranya di Arakan, Myanmar.

Di kios lainnya, saya juga menjumpai pria keturunan Arakan, Myanmar. Pria berusia 29 tahun itu mengaku bernama Abdullah Hasan Ali Ahmad. “Saya lahir di Makkah. Orang tua saya sudah tinggal di sini selama 40 tahun.”

Abdullah terbilang berotak encer. Bahasa Inggrisnya sangat bagus. Ia juga sangat memahami kondisi terkini yang terjadi di tanah nenek moyangnya, Arakan, Myanmar. “Saya selalu mengikuti perkembangan saudara-saudara kami di Arakan dari televisi,” kata dia.

“Saya berterima kasih kepada Muslim di Indonesia yang telah membantu saudara-saudara kami di Arakan,” kata Abdullah. “Saya selalu menontonnya di televisi. Saya juga tahu, Muslim di Indonesia berdemonstrasi di depan Kedutaan Besar Myanmar.”

Ia berharap agar saudara-saudaranya di Myanmar bisa mendapatkan kebebasan. “Mereka harus menikmati kehidupan seperti manusia yang lainnya,” kata dia. Abdullah mengatakan, ayahnya lari dari Myanmar karena di negara itu tak mendapat pengakuan.

“Saudara-saudara kami tak bisa bekerja karena tak diakui. Mereka selalu didiskriminasi,” ungkap Abdullah. Tak hanya itu, Muslim Rohingya pun kerap mendapat perlakuan yang kejam dari masyarakat non-Muslim dan rezim berkuasa. “Karena itulah, ayah saya hijrah ke Arab Saudi.”

Menurut dia, populasi imigran dari Arakan, Myanmar, di Arab Saudi ada sekitar 500 ribu jiwa. “Kami tak punya keahlian. Yang kami bisa hanya menjaga toko untuk berjualan,” papar Abdullah.

Abdullah mengatakan, Muslim Rohingya sangat sulit meraih status sosial dan posisi yang tinggi. Pendidikannya paling tinggi hanya setingkat SMP. “Saya bisa berbicara bahasa Inggris bukan dari sekolah, tetapi belajar sendiri,” kata pria yang menguasai bahasa Arakan, Urdu, Inggris, dan Arab itu.

Ia mengaku sangat senang begitu saya memperkenalkan diri sebagai wartawan dari surat kabar Muslim terbesar di Indonesia. “Subhanallah…. Terima kasih atas bantuan pemberitaannya tentang saudara-saudara kami di Myanmar,” ungkapnya setelah saya menceritakan kepedulian Republika dan Republika Online terhadap nasib Muslim Rohingya.

Saking senangnya bertemu dengan Muslim Indonesia, Abdullah pun memberi diskon khusus. “Silakan ambil 15 riyal. Ini sebenarnya 20 riyal,” katanya sambil menyodorkan sebotol minyak Habatussaudah kepada saya.

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement