Jumat 05 Oct 2012 13:01 WIB

Jalan Hidup Salikin (2)

Ilustrasi
Foto: wordpress.com
Ilustrasi

Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar

Ia juga harus memperhitungkan keberlangsungan kehidupan dan keutuhan keluarganya.

Bukanlah salik yang benar jika dirinya memperoleh kepuasan hakikat, sementara keluarganya berantakan.

Bahkan, jalan hidup seperti itu tidak sejalan dengan ajaran Islam yang ideal sebagaimana dicontohkan Nabi dan para sahabatnya. Keluarga yang bermasalah bisa menjadi faktor dekonsentrasi di dalam menjalani kehidupan suluk.

Pengalaman para salikin di berbagai wilayah memang bermacam-macam. Ada yang lahir dari keturunan berada sehingga soal urusan kehidupan duniawi keluarganya tidak ada masalah.

Ada yang memiliki sejumlah properti, seperti lahan dan usaha produktif, sehingga hasilnya bisa menunjang kehidupan diri dan keluarganya. Ada juga yang memang sejak awal merancang hidupnya sebagai salikin sehingga istri dan anak-anaknya secara mental bersedia menanggung risiko kehidupan sebagai warga salik.

Kedengarannya menakutkan menjalani kehidupan suluk. Akan tetapi, jika seseorang mencoba menjalani pilihan hidup ini, ternyata bisa dan bahkan mengasyikkan karena yang bisa menghadirkan banyak masalah dalam kehidupan ialah pikiran dan logika yang banyak mendiktekan pengandaian.

Akan tetapi, begitu pikiran dan logika dipersempit dan digantikan dengan kecintaan mendalam kepada Tuhan, beban yang tadinya “menggunung” berubah menjadi kapas atau buluh-buluh yang beterbangan, seperti firman Allah, “Dan gunung-gunung seperti bulu yang dihambur-hamburkan.” (QS Al-Qariah [101] :5).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement