REPUBLIKA.CO.ID, Nash syarak yang menyatakan larangan terhadap pembunuhan antara lain Surat Al-Isra’ (17) ayat 33 yang mengtakan, ”Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar.”
Ayat-ayat lainnya ialah Surat an-Nisa ’ (4) ayat 92 dan al-An ‘am (6) ayat 151. Sedangkan dari hadis Nabi SAW, selain hadis yang diriwayatkan Abu Dawud dan An-Nasa’i di atas, juga hadis tentang keharaman membunuh orang kafir yang sudah meminta suaka (mu ‘ahad) (HR. Bukhari. Ahmad bin Hanbal, an-Nasa’i, dan lbnu Majah dari Abdullah bin Umar).
Pembunuhan terhadap orang yang sedang sakit berarti mendahului takdir Allah SWT. Allah SWT telah menentukan batas akhir usia manusia. Dengan mempercepat kematiannya, pasien tidak mendapatkan manfaat dari ujian yang diberikan Allah SWT kepadanya, yakni berupa ketawakalan kepada-Nya.
Rasulullah SAW bersabda, "Tidaklah menimpa kepada seorang muslim suatu musibah, baik kesulitan, sakit, kesedihan, kesusahan maupun penyakit, bahkan duri yang menusuknya, kecuali Allah menghapuskan kesalahan atau dosanya dengan musibah- musibah yang dicobakannya itu.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah).
Yang berhak mematikan dan menghidupkan manusia hanyalah Allah SWT. Manusia dalam hal ini tidak mempunyai hak atau kewenangan untuk memberi hidup dan atau mematikannya, sebagaimana firman-Nya dalam surat Yunus (10) ayat 56, "Dia-lah yang menghidupkan dan mematikan, dan hanya kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.”
Hal ini juga dijelaskan pada sekitar 30 ayat Alquran yang tersebar pada 21 surat. Dalam surat al-Mulk (67) ayat 1-2 misalnya ditegaskan, "...Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu, yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih amalnya...”
Dengan eutanasia, artinya manusia mengambil hak Allah SWT yang sudah menjadi ketetapan-Nya. Eutanasia juga menandakan manusia menyerah pada keadaan, padahal Allah SWT menyuruh manusia untuk selalu berusaha atau berikhtiar sampai akhir hayatnya.
Bagi manusia tidak ada alasan untuk berputus asa atas penyakit yang dideritanya, sebab kepadanya masih ada kewajiban untuk berikhtiar. Dalam hadis Rasulullah SAW disebutkan bahwa betapa pun beratnya penyakit itu, tetaplah ada obat penyembuhnya (HR. Ahmad bin Hanbal dan Muslim dari Jabir bin Abdillah). Wallahu’alam
Sumber : Ensiklopedi Hukum Islam