Selasa 28 Aug 2012 11:23 WIB

Sejarah Khitan (3-habis)

Rep: Nidia Zuraya/ Red: Chairul Akhmad
Seorang bocah saat dikhitan.
Foto: Republika/Adhi Wicaksono
Seorang bocah saat dikhitan.

REPUBLIKA.CO.ID, Tak hanya Babilonia, Sumeria, dan Mesir Kuno, orang-orang Yahudi juga mengenal tradisi berkhitan.

Mereka menaruh perhatian besar terhadap praktik berkhitan ini. Dalam kitab Talmud—tafsir atas Zabur, yakni kitab yang diturunkan kepada Nabi Daud AS—disebutkan, orang yang tidak berkhitan termasuk dalam golongan orang musyrik yang jahat.

Dalam kepercayaan kaum Nasrani juga demikian. Ajaran agamanya mengajarkan umatnya untuk berkhitan. Dalam Injil atau Kitab Ulangan disebutkan, “Bersunatlah (khitan) untuk Tuhan; dan buanglah kotoran hatimu wahai orang-orang Yahuza dan penduduk Orsleim!”

Bahkan, banyak teks injil yang menyatakan bahwa berkhitan merupakan suatu hal yang sangat baik. Dalam Injil Barnabas disebutkan bahwa Yesus melakukan sunat (khitan) dan memerintahkan para pengikutnya supaya bersunat. Namun faktanya, banyak orang Kristen yang tidak melaksanakannya.

Bangsa Arab jahiliyah, yakni sebelum datangnya agama Islam, juga sudah terbiasa melakukan khitan. Hal ini dilakukan untuk mengikuti tradisi leluhur mereka, yaitu ajaran Ibrahim AS.

Selanjutnya, ajaran berkhitan yang dicontohkan Nabi Ibrahim tersebut diikuti oleh para Nabi dan Rasul sesudahnya. Mereka juga mengajarkan hal itu kepada umatnya masing-masing.

Pada masa Islam, khitan dilakukan oleh Rasulullah SAW terhadap kedua cucunya, Hasan bin Ali bin Abi Thalib dan Husein bin Ali bin Abi Thalib, pada saat masing-masing baru berusia tujuh hari.

Sementara itu, menurut hadis yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik dan Ibnu Abdul Bar, Rasulullah SAW telah berkhitan sejak dilahirkan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement