REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: A Riawan Amin
“Karena itu, janganlah kalian mengadakan tandingan-tandingan bagi Allah, padahal kalian mengetahui.” (QS 2: 2)
Seorang anak bertanya kepada bapaknya, “Ayah, percayakah kafir Quraisy kepada Allah? Jika tidak, mengapa ayah Rasulullah, bernama Abdullah, sang hamba Allah?”
Ternyata pengikut Allah bukan monopoli yang mengaku beriman. Kafirpun percaya dan mengikut kepada One Supreme being, Satu Tuhan Utama. Pencipta (Khalik) dan pengatur (Rabb) alam semesta.
Dari awal umat Islam diajarkan Syahadat Tauhid, Laa Ilah (tidak ada Tuhan) sebagai penafian kepada Ilah-ilah atau tandingan-tandingan. Dilanjutkan illallah (kecuali Allah ), yang merupakan peneguhan kepada satu-satunya Pencipta dan Penguasa.
Ujian yang sama berlaku hari ini. Pintu-pintu syirik terbuka bukan melalui penentangan kepada Allah sebagai Ilah, bukan karena lemahnya ruh illallah. Tetapi melalui peneguhan Ilah-ilah lain tandingan Allah, melalui lemahnya ruh Laa Ilah.
Ada sebagian yang menyebut diri Muslim Indonesia, Muslim Sunda, Jawa, Melayu dan lain-lain. Yang sebetulnya memenuhi kualifikasi sebagai Kafir Indonesia, Kafir Sunda, Kafir Jawa dan lain-lain. Mengapa? Sebab prilaku mereka mirip Kafir Quraisy, yakni membesarkan Ilah-ilah selain Allah.
Keris, harta, tahta, dukun, ajengan bahkan Ilah-ilah yang bersembunyi di balik jubah keislaman. Di balik khadam dan ajian, adalah The New Lata, Uza dan Hubbal – berhala-hala yang disembah oleh kaum Kafir Quraisy. Demikian pula Ilah waktu membayar joki di Masjidil Haram, mendesak, menyikut saudara seiman demi mencium sebuah batu hitam bernama Hajar Aswad. Padahal, mencium Hajar Aswad hukumnya adalah sunnah, sedangkan menghormati dan menjaga sesama Muslim hukumnya wajib.
Makan siang di bulan Ramadhan adalah peng-Ilah-an kepada perut sendiri. Demikian pula kecanduan nasi, sampai berkata belum buka atau belum makan, jika belum nasi. Inilah contoh peng- Ilah-an, yang membuat negara selalu kekurangan dan harus impor beras. Konsumsi beras rakyat Indonesia sudah mencapai sekitar 130 kg/kapita/tahun, sedangkan idealnya sekitar 80 kg/kapita/tahun. Padahal di Indonesia begitu banyak nikmat Allah dalam bentuk lain, umbi-umbian, pisang, jagung, sagu, dan buah-buahan sebagai alternatif kecanduan nasi atau beras tersebut.
Tak ada prilaku buruk, bahkan yang kelihatan baik -- dari korupsi sampai sedekah karena riya -- yang tak luput dari campur tangan kemusyrikan. Korupsi demi anak cucu adalah peng –Ilah-an kepada keturunan. Riya adalah pengilahan kepada diri sendiri.
Tak heran jika syirik begitu samar. Laiknya semut hitam, di atas batu hitam, di malam yang sangat kelam. Alquran bertabur dengan ratusan ayat yang mengingatkan umat manusia akan bahaya syirik, larangan berbuat syirik, sebab-sebab syirik dan bentuk-bentuk kemusyrikan.
Ramadhan dan Idul Fitri yang baru saja berlalu merupakan momentum bagi umat Islam untuk meneguhkan kalimat Laa Ilaha illallah. Sesungguhnya shalatku, ibadahku, shaum ku, hidup dan matiku bagi Allah. Wa maa anaa minal kaafirin. Jadikan aku ya Allah bagian dari pengikut-Mu, yang bukan kafir. Wallahua’lam.